Kata-kata
dalam ungkapan semboyan ini pasti tidak asing pada masyarakat jawa. Dan
ungkapan ini sering kali terdengar, entah itu secara langsung maupun
dari buku yang kita baca. Dan sering kali ungkapan semboyan ini di
ucapan dalam pementasan budaya jawa, entah itu dalam kesenian ludruk
atau ketoprak yang bercerita akan perjuangan.
Akan
tetapi sungguh amat disayangkan, walau ungkapan semboyan ini sering
terdengar, tapi jarang sekali dari masyarat jawa yang mengerti akan
maksud dari ungkapan semboyan tersebut.
Dan
dalam kesempatan ini "PG" mencoba mengupas ungkapan semboyan tersebut,
dan tidak lupa pula "PG" juga mohon maaf, bila ada penguraian kata yang
kurang tepat atau kurang lengkap, karena semua itu tidak lepas dari
keterbatasan dan kekurangan "PG" semata.
"SURODIRO JOYONINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI"
Ungkapan
semboyan ini, merupakan salah satu pengingat atau nasehat yang
ditujuhkan untuk segenap insan (manusia) yang melalang buana menapakkan
jejak langkah dihamparan bumi ini. Agar mereka senantiasa berhati-hati
dalam menitih langkah menyimak bias yang terpancar pada diri mereka.
Entah itu keberanian, kekuatan, kejayaan dan kemewahan. Semuanya pasti akan membias mengiringi disetiap langkah yang insan lakukan.
Terkadang tanpa insan sadari, bias pancaran tersebut muncul secara tiba-tiba tanpa diperkirakan ataupun dirancang sebelumnya. Hingga pada akhirnya, terkadang pula hal yang muncul tersebut membuat diri insan lupa diri, mereka tak segan-segan untuk mengunggulkan dan menyanjung dìrinya sendiri. Tanpa mengindahkan proses yang membuat mereka mendapatkan bias pancaran tersebut.
Padahal semua itu, semua yang insan cerminkan serta yang insan wujudkan, hanya merupakan jembatan dalam rintisan untuk mengenal diri mereka sendiri, sekaligus wadah dalam mengupas perenungan pada Dzat pemberi hidup, dan juga Dzat yang memberikan mereka keberanian, kekuatan, kejayaan dan kemewahan.
Ungkapan ini juga merupakan penyemangat bagi seluruh insan, agar mereka seyogiannya menerima apa adanya (nerima ing pandum), dan tidak sekedar memancarkan bias yang tidak seharusnya mereka pancarkan. Karena seonggak keinginan yang menggebu tanpa di dasari dengan kemurnian serta kesadaran diri, pada akhirnya akan membuat diri insan terpuruk dalam menyambut kehancuran.
Alangkah nikmat dan tentramnya diri insan, bila rintisan yang mereka tempuh tersebut terselip juga dengan rasa bersyukur yang mendalam. Agar diri mereka tidak terlalu terhanyut dengan apa-apa yang mereka dapatkan. Karena rasa bersyukur itu juga merupakan obat hati, yang bisa membatasi apa yang selama ini menjadi keinginannya. Agar mereka senantiasa berhati-hati dan juga harus bisa mawas diri dengan sesuatu yang terlimpah atas diri mereka.
Pernahkah insan menyadari, kalau semua keberanian, kekuatan, kejayaan dan kemewahan yang ada di dalam diri mereka baru dapat dikalahkan atau diredam oleh kepasrahan jiwa.
Wujud dari kepasrahan jiwa yang sesungguhnya terkandung sifat yang bijaksana, memiliki seikat rasa kasih sayang dan juga menebarkan benih dalam perwujudan kebaikan yang juga bernaung di sisi lain dari diri mereka sendiri.
Entah itu keberanian, kekuatan, kejayaan dan kemewahan. Semuanya pasti akan membias mengiringi disetiap langkah yang insan lakukan.
Terkadang tanpa insan sadari, bias pancaran tersebut muncul secara tiba-tiba tanpa diperkirakan ataupun dirancang sebelumnya. Hingga pada akhirnya, terkadang pula hal yang muncul tersebut membuat diri insan lupa diri, mereka tak segan-segan untuk mengunggulkan dan menyanjung dìrinya sendiri. Tanpa mengindahkan proses yang membuat mereka mendapatkan bias pancaran tersebut.
Padahal semua itu, semua yang insan cerminkan serta yang insan wujudkan, hanya merupakan jembatan dalam rintisan untuk mengenal diri mereka sendiri, sekaligus wadah dalam mengupas perenungan pada Dzat pemberi hidup, dan juga Dzat yang memberikan mereka keberanian, kekuatan, kejayaan dan kemewahan.
Ungkapan ini juga merupakan penyemangat bagi seluruh insan, agar mereka seyogiannya menerima apa adanya (nerima ing pandum), dan tidak sekedar memancarkan bias yang tidak seharusnya mereka pancarkan. Karena seonggak keinginan yang menggebu tanpa di dasari dengan kemurnian serta kesadaran diri, pada akhirnya akan membuat diri insan terpuruk dalam menyambut kehancuran.
Alangkah nikmat dan tentramnya diri insan, bila rintisan yang mereka tempuh tersebut terselip juga dengan rasa bersyukur yang mendalam. Agar diri mereka tidak terlalu terhanyut dengan apa-apa yang mereka dapatkan. Karena rasa bersyukur itu juga merupakan obat hati, yang bisa membatasi apa yang selama ini menjadi keinginannya. Agar mereka senantiasa berhati-hati dan juga harus bisa mawas diri dengan sesuatu yang terlimpah atas diri mereka.
Pernahkah insan menyadari, kalau semua keberanian, kekuatan, kejayaan dan kemewahan yang ada di dalam diri mereka baru dapat dikalahkan atau diredam oleh kepasrahan jiwa.
Wujud dari kepasrahan jiwa yang sesungguhnya terkandung sifat yang bijaksana, memiliki seikat rasa kasih sayang dan juga menebarkan benih dalam perwujudan kebaikan yang juga bernaung di sisi lain dari diri mereka sendiri.
MAKSUD "SURODIRO"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar