Menjadi seorang muslim, belum tentu bisa mendapatkan jaminan dari Alllah atau Allah akan membelanya, akan di beri kelapangan jalan yang ditempuhnya, akan diampuni segala dosa-dosanya, amal ibadahnya akan diterima, dan akan memberi petunjuk atau bantuan dari-Nya.
Dalam pandangan lahiriah (Dhohir), menjadi seorang muslim atau seorang Islam itu lebih mudah dilakukan. Karena hal itu sudah menjadi sarana atau syarat untuk masuk seorang muslim.
Dalam pandangan lahiriah (Dhohir), menjadi seorang muslim atau seorang Islam itu lebih mudah dilakukan. Karena hal itu sudah menjadi sarana atau syarat untuk masuk seorang muslim.
Apakah seseorang tetap menganggap kafir pada orang lain, padahal orang tersebut sudah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Apakah seseorang tetap menuduh kafir pada orang lain, padahal orang yang mereka tuduh itu sudah melaksanakan shalat, berpuasa, naik haji.
Pada intinya, kalau seseorang tidak mengetahui secara pasti apa yang dilakuakn oleh insan lain, lebih baik diam dan tidak tergesa-gesa menuduh atau menilai orang lain itu kafir. Karena tanpa disadari, mungkin apa yang dilaksanakannya (ibadah) yang yang dianggap kafir, itu lebih baik dari apa yang dilakukan oleh si penilai.
Apa yang dilakukan seseorang yang termasuk dalam golongan orang Islam, belum tentu ia dianggap orang bertaqwa.
Setelah menjadi orang yang bertaqwa, barulah ada jaminan dan pembelaan dari Allah di dunia dan di Akhirat, barulah dosa diampunkan, barulah amal ibadah ini diterima, barulah mendapat pimpinan dari Allah, barulah mendapat petunjuk dari Allah, pintu rezeki akan terbuka tidak tahu dari mana datang dan sumbernya, memudahkan apa yang dilakukannya (segla bentuk pekerjaan).
Walau pekerjaan terlihat sedikit, tapi hasilnya banyak melebihi apa yang dipikirkan secara logika. Dan kalau pekerjaan semakin banyak, lebih banyakl pula apa yang akan diperoleh. Hal inilah yang dijelaskan oleh Allah melalui firmanNya :
“Barang siapa yang bertaqwa pada Allah, Allah beri jalan keluar dari kesusahan dan akan beri rezeki sekira-kira tidak terduga-duga”
“Barang siapa yang bertaqwa pada Allah, Allah akan permudah segala urusannya”
[Q.S. At-Talaq : 4]
“Allah menjadi pemimpin (pembela) orang yang bertaqwa”
[Q.S. Al Jasiah : 19]
Dalam ayat yang lain :
“Sesungguhnya amal ibadah yang diterima dari orang yang bertaqwa”
“Dan jika ada penduduk sebuah kampung itu beriman dan bertaqwa, maka akan Allah bukakan berkat dari pintu langit dan bumi” [Q.S. Al-A’raf : 96]
Allah akan senantiasa membuka pintu berkah dari langit maupun di bumi, kehidupan mereka akan selalu terjamin, segala langkah yang dilakukan senantiasa mendapat ridho dari-Nya. Dengan demikian maka sudah tentu kehidupan orang bertaqwa akan lebih aman, damai dan tidak kurang sesuatu apapun.
Orang yang bertaqwa, belum tentu mendapatkan kekayaan materi (harta), tapi yang pasti, mereka akan mendapatkan kekayaan hati yang lapang dan senantiasa berpandangan luas, memandang segi apapun dengan kesadaran dan kejernihan pikiran. Dan yang paling utama tidak memiliki pamrih apapun, baik itu tentang tindak tanduk yang dilakukannya, maupun do’a yang di panjatkannya.
Orang yang bertaqwa, belum tentu mendapatkan kekayaan materi (harta), tapi yang pasti, mereka akan mendapatkan kekayaan hati yang lapang dan senantiasa berpandangan luas, memandang segi apapun dengan kesadaran dan kejernihan pikiran. Dan yang paling utama tidak memiliki pamrih apapun, baik itu tentang tindak tanduk yang dilakukannya, maupun do’a yang di panjatkannya.
Mereka akan selalu menerima apa adanya, dan keinginannya tidak akan menonjol. Tapi mereka selalu serba bercukupan, dengan kata lain, mereka tidak di repotkan dengan masalah urusan dunia.
Disamping itu, mereka akan dapat berkasih sayang dengan mesra, pada apa yang sudah diberikan dan di amanahkan, dan dapat menjaga apa yang juga sudah di amanahkan.
Mereka akan selamat sejahtera, tidak ada gangguan apapun, alur kehidupannya penuh dengan keharmonisan dan penuh dengan keindahan.
Di kehidupan dunia mereka mendapatkan Syurga dan di kehidupan yang akan datang (Akhirat) pastilah akan mendapat Syurga yang kekal abadi.
Banyak ayat yang memberitahu bahwa setelah seseorang atau satu bangsa itu menjadi orang yang bertaqwa, barulah akan mendapat pembelaan dari Allah. Baik itu di dunia maupun di akhirat. Kalau hanya sekedar Islam tidak akan ada jaminan dan pembelaan dari Allah di dunia maupun di Akhirat.
Inilah yang terjadi pada sebagian umat Islam yang ada di dunia saat ini. Rata-rata mereka atau sebagian besar dari mereka sebagai umat Islam yang disebut sebagai seorang muslim, tetapi tingkah lakunya tidak mencerminkan ciri-ciri orang yang bertaqwa.
Dengan demikian, Allah tidak akan membela mereka atau satu bangsa. Dan bila tidak ada pembelaan dari Allah, maka sudah dapat di pastikan, kehidupan mereka akan mengalami banyak rintangan dan cobaan, hidup mereka tidak akan bisa bersatu padu, dan akan selalu memunculkan permusuhan diantara mereka atau satu bangsa.
Mereka akan selalu ditekan oleh mungsu, mereka akan selalu terhina, selalu menderita, dan mereka akan menjadi hamba orang, kesusahan akan selalu mereka rasakan dan mereka tersingkir di mana-mana. Walau jumlahnya banyak, akan tetapi mereka tidak berguna. laksana setetes air yang menerpa lautan laut.
Untuk itu, bila sekedar menjadi seorang Islam (umat islam) saja jangan merasa terselamatkan sebab masih belum ada jaminan dan pembelaan dari Allah. Oleh karena itu, kita mesti menjadi orang yang bertaqwa. Dengan demikian barulah jaminan dan pembelaan dari ALLAH akan didapat, baik itu di dunia maupun di Akhirat.
Oleh karena itu, kita mesti berusaha bersungguh-sungguh untuk menjalankan roda dalam kehidupan ini, dan bersungguh-sungguh pula untuk memiliki sifat taqwa. Terlebih lagi bagi mereka yang bercita-cita membangunkan Islam, mereka harus perlu berusaha menjadikan diri mereka orang yang bertaqwa lebih dulu. Agar apa yang menjadi niatannya dapat menemukan jalan dan mendapat petunjuk dari-Nya.
Orang Islam yang mempunyai cita-cita untuk menegakan rumusan islam yang sesungguhnya, memang perlu perjuangan dan jerih payah yang lebih. Tapi sebelum mereka (orang islam) memperjuangkan rumusan islam dan memperbaikinya. khususnya ingin memperbaiki masyarakat di sekitarnya.
Alangkah baiknya, dia lebih dulu faham bagaimana memperbaiki dirinya sendiri agar bisa bertaqwa dan bagaimana pula untuk memperbaiki masyarakat.
Untuk memperbaiki diri agar menjadi orang yang soleh atau orang yang bertaqwa, Insya Allah ada 8 syarat yang perlu ditempuh dan dilakukannya :
1. DAPAT PETUNJUK DARI ALLAH
Di sinilah modal utama untuk menuju ke arah jalan bertaqwa, yaitu Allah beri hidayah dengan cara mengetuk pintu hatinya. Dia senang dengan Islam, sayang dengan Islam, suka dengan Islam, dan terbuka hatinya untuk Islam. Sebut saja Islam terasa indah dan senang. Rasa terhibur walaupun dia tidak tahu apa itu Islam. Firman Allah :
“Barang siapa yang Allah kehendaki untuk diberi-Nya petunjuk, maka dilapangkan hatinya untuk menerima Islam” [Q.S. Al An’am : 125]
2. FAHAM TENTANG ISLAM
Faham tentang Islam. Bukan tahu tenatng Islam. inilah yang dimaksud oleh sabda Rasulullah SAW :
“Barang siapa yang Allah hendak jadikan dia orang baik, maka dia akan diberi faham tentang Islam”
Kalau begitu sekiranya sekedar diajar atau diberitahu, tidak ada jaminan seseorang itu menjadi baik. Tetapi kalau diberi “faham” (pemahaman) itulah tanda-tanda seseorang akan membuat perubahan.
Sebab bila dikatakan “diberi faham”, akan jatuh ke hati. Tetapi kalau hanya “diberitahu” hanya diakal saja. Akhirnya jadi mental exercise. Pintar mengatakan tentang Islam, hanya berputar di akal tidak di hati. Bila hanya bertapak di akal, ceramahnya hebat, dapat menulis dsb.
Tetapi kalau tidak bertapak di hati, bukan menjadi keyakinan hidupnya. Artinya tidak menghayati ilmunya. Kalau begitu ilmu yang ada di otaknya tidak mendorong untuk memperbaiki diri. Tidak mendorong untuk memperjuangkannya. Ilmu itu tidak mendorong untuk menuntun hidupnya. Tetapi kalau sampai di hati barulah akan berkesan pada dirinya.
Namun perlu diingat, kalau hati terbuka untuk menerima Islam, tetapi ilmunya tidak ada, maka seseorang itu tidak akan dapat berbuat. Beramal tanpa ilmu, tertolak. Ada ilmu tetapi tidak diamalkan, laksana pohon tidak berbuah.
Jadi kefahaman tentang Islam ini perlu ada. Memahami Islam secara syumul, secara lengkap, bukannya secara sebagian-sebagian. Memahami Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Memahami Islam sebagai cara hidup, atau dengan kata-kata lain, memahami Islam sebagai agama akidah, ajaran ibadah, dakwah, ukhuwah, jihad, jamaah, amrun bil ma’ruf wanahyu a’nil mungkar, tarbiah, pendidikan, ekonomi, daulah Islamiah, antara bangsa dan hinggalah ke alam sejagat.
Untuk mendapatkan kefahaman, mesti ada jalan, ada usaha dan ada caranya. Tidak dapat faham begitu saja. Mesti melahirkan sebab, seperti dengan belajar, membaca, menelaah, muzakarah, bertanya dan sebagainya. Jadi lapang dada menerima Islam saja tidak cukup. Mesti disertai kefahaman, kemudian berbuat dan bertindak berdasarkan kefahaman itu.
3. YAKIN
Apa saja ilmu yang kita ketahui dan fahami perlu kita yakini, terutama dalam menyangkut persoalan aqidah; keyakinan kepada Allah, kepada Rasul, kepada malaikat dan sebagainya. Keyakinan itu mesti kental, jangan syak, waham atau zan.
Jangan jadikan ilmu Islam itu seperti ilmu-ilmu sekuler yang lain. Umpamanya sewaktu kita belajar ilmu ideologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dan ilmu alam. Kadang-kadang hati kecil kita bertanya “Iya kah .. ?!? ..
Betulkah .. ?!? ..
”Sudah belajar teori ekonomi, tapi hati kecil berkata “
Eh, kalau aku buat ini, bisa dapat untung tidak ya .. ?!? ..
Inilah yang menjadikan pemahaman islam akan salah jalur, dan pada prinsip mengalir apa adanya, pada akhirnya beracuan untung dan rugi.
4. MELAKSANAKAN
Setelah kita mengetahui, faham dan yakin dengan ilmu-ilmu Islam, kita mesti bertindak, mengamalkannya dan merumuskannya. Agar apa yang tercermin akan membawa manfaat untuk menuju keridhoan-Nya.
Perintah fardhu dan sunnat mesti dilaksanakan; perintah haram dan makruh mesti ditinggalkan. Manakala yang sunat kita laksanakan sejauh mungkin dan seiring dengan kemampuan yang dimilikinya.
5. BERMUJAHADAH
Walaupun hati sudah terbuka, rindu dan suka dengan Islam, sudah faham Islam dan yakin dengan yang difahami itu.
Tapi kita tetap harus waspada, dan berhati-hati dengan musuh yang akan menghancurkan perjuangan kita. Meluluh lantahkan jerih payah yang kita lakukan, bila kita kalah. Sia-sialah dengan apa yang kita lakukan selama ini. Bukan musuh atau penghalang lahiriah (manusia) yang kita kwatirkan. Tapi musuh dalam diri kita sendiri (Nafsu) yang perlu kita waspadai.
Bila kita menghadapi musuh secara nyata (lahiriah / manusia), pasti kita bisa memasang strategi dan taktik agar bisa menang, kekuatan dan pengalaman dalam bertempur bisa kita gunakan, bila terdesak, kita bisa lari menjauh untuk mencari perlindungan. Dan kita bisa mencari bala bantuan agar bisa mengusir musuh untuk mencapai kemenangan.
Tapi bila musuh itu ada di dalam diri kita, bila kita terdesak. Kita harus lari kemana .. ?!? ..
Dan bila kita mau minta bantuan, bantuan kesiapa .. ?!? ..
Semuanya tergantung dari diri kita dan jerih payah kita sendiri, orang lain hanya bisa mengarahkan dan memberikan langkah. Sedangkan langkah sesungguh di kembalikan pada kita sendiri.
Dan bila kita sudah bertindak benar dan sesuai apa yang diperintahkan. Walau kita terdesak musuh dari diri kita. Allah senantiasa menolongnya dan Allah senantia memberikan cahaya perlindungan.
Nafsu itulah yang lebih jahat dari syaitan. Setan tidak dapat mempengaruhi sesorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata ain, nafsu adalah jalan raya untuk setan. Kalau nafsu dibiarkan, akan membesar, maka semakin luaslah jalan raya setan. Kalaulah nafsu dapat diperangi, maka tertutuplah jalan setan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa kita.
Sedangkan nafsu ini sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sangat jahat. “Sesungguhnya hawa nafsu itu sangat membawa pada kejahatan”
Jadi seseorang itu mesti sanggup melawan hawa nafsu. Kalau tidak banyak ajaran Islam yang terabaikan, banyak perintah Allah dilalaikan. Bila tidak dapat melawan hawa nafsu, banyak larangan Allah yang akan dibuat.
Jadi hanya dengan melakukan mujahadatunnafsi, barulah ajaran Islam itu dapat kita amalkan sungguh-sungguh dan barulah maksiat lahir dan batin dapat kita tinggalkan, karena nafsu yang sangat menghalang itu sudah tidak ada lagi. Nafsu itu sudah kita didik, sudah kita kalahkan, dan sudah menjadi tawanan kita.
6. ISTIQAMAH BERAMAL
Beramal seharusnya jangan bermusim, jangan sampai turun naik. Lakukan dengan seimbang dengan batasan garis normal.
Kalau sudah beribadah, seharusnya terus beribadah.
Kalau sudah berukhuwah, seharusnya terus berukhuwah.
Kalau sudah meninggalkan maksiat, seharusnya terus meninggalkannya.
Jangan sampai sekali buat dan sekali ditinggalkan.
Begitu juga kalau berjuang, berdakwah dan sebagainya, hendaklah berjuang dan berdakwah terus. Jangan kadang-kadang beribadah, kadang-kadang tidak, kadang-kadang berdakwah, kadang-kadang tidak.
Jadi seharusnya mengamalkan, baik itu perintah dibuat secara istiqamah maupun perintah larangan itu ditinggalkan secara istiqomah juga. Dengan kata lain, beramal hendaklah secara tetap, secara rajin dan terus menerus. Ini yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW :
“Sebaik-baik amalan itu, yang dibuat secara istiqamah sekalipun sedikit”.
Apa yang dimaksudkan sedikit .. ?!? ..
jika tidak diuraikan, nanti ada dari sebagian dari mereka yang akan mengambil kesempatan dengan berkata :
“yang penting istiqamah, tetap Allah terima walaupun sedikit. Kalau begitu saya akan shalat saja sampai mati. Puasa, naik haji, berkorban dan sebagainya tak perlu dibuat”.
Sebenarnya sedikit yang dimaksudkan oleh Rasulullah ialah amalan-amalan yang fardhu sudah ditunaikan. Yang fardhu ain selesai, kemudian ditambah pula dengan amalan yang sunat. Istiqamah amalan yang sunat, amalan wajib memang tidak dapat ditinggalkan.
Amalan yang istiqamah akan membuat kesan pada roh atau hati seseorang. Laksana titisan air, walaupun kecil dan lembut tapi jika ia meniti sepanjang masa, lama-kelamaan batu akan lekuk. Sebaliknya, air banjir yang datang setahun sekali atau dua tiga tahun sekali, walaupun besar tetapi tidak dapat melekukkan batu. Tegasnya, amalan sunat yang istiqamah sangat memberi kesan pada hati. Kesannya dapat dilihat pada gerak-gerik, membuahkan akhlak yang mulia. Sebaliknya amalan sunat yang dibuat walaupun banyak tetapi tidak secara istiqamah, tidak memberi bekas pada jiwa.
7. ADA PEMIMPIN YANG MEMIMPIN (GURU MURSYID)
Dapat memimpin baik di bidang ilmu, akal atau hati. Baik yang lahir maupun yang batin dan dalam semua hal hingga hidup kita ini dapat tertuju kepada Allah.
Dalam Islam, pemimpin yang dapat memimpin hidup kita itulah yang dikatakan mursyid. Asalnya dari perkataan ‘mursyidun’ maknanya orang yang memimpin. Setiap orang wajib ada pemimpin yang memimpin dirinya, baik dia ulama atau tidak, hafiz atau tidak, pakar Islam atau tidak, mualim atau tidak.
Orang yang memimpin (mursyidun) tidak sama dengan mua’llim. Juga tidak sama dengan ustad dan guru. Sebab mu’alim itu hanya memberi ilmu. Mereka hanya memandang luar.
Tetapi mursyid yang dapat memimpin. Allah memberi padanya ilmu-ilmu yang luar biasa. Ada ilmu lahir dan batin. Bukan saja dia dapat memimpin akal, tetapi juga hati (roh) juga dipimpinnya. Walaupun mursyid itu seorang yang tidak hafal quran dan hadis. Sebab itu sebagaimana hebat alim seseorang itu, dia mesti punya pemimpin.
Memang guru pemimpin itu susah dicari. Apalagi di jaman sekarang yang sudah jauh dari Rasulullah. Orang yang jadi mursyid hanya dalam hitungan jari saja. Sebab itu mursyid kurang popular dan jarang disebut dalam kehidupan sehari-hari.
Imam Ghazali r.h. berkata:
“Untuk mencari seorang mursyid, laksana mencari belerang merah”
Begitulah susahnya untuk mencari mursyid. Sebab itu pimpinan sudah tidak ada lagi di kalangan umat Islam hari ini. Maka berjuang pun hanya main-main akal, beribadah sesuka hati, bertindak sembrono, tidak diukur secara ilmu lagi. Jadi perlu ada guru yang mursyid, yang dapat memimpin ilmu dan amalan kita, yang memimpin lahir dan batin kita. Guru mursyid ini menjadi tempat kita merujuk walau dalam hal keci sekalipun.
Tetapi di sinilah banyak yang tidak faham termasuk alim ulama. Sebagiannya berkata “kalau kita sudah berguru ke satu tempat, jangan lagi berguru di tempat lain”. Ini satu fahaman yang salah. Sebenarnya guru mursyid yang tidak banyak, seorang saja. Tapi kalau guru sumber ilmu, lebih banyak lebih baik karena lebih banyak saluran untuk dapat ilmu. Imam Ghazali r.h. ada 1000 orang gurunya.
Guru pimpinan, tempat rujuk dalam semua hal hanya seorang saja. Dalam hal apapun mesti dirujuk kepadanya termasuk dalam hal yang mubah. Walaupun mubah, tetapi untuk dapat berkat mesti bertanya kepadanya. Lebih-lebih lagi kalau sudah menjadi arahannya wajib ditaati. Setiap arahannya sudah menjadi wajib arahdi, sebab mentaati pemimpin adalah wajib. Di sinilah kebanyakan kesalahan pejuang sekarang. Mereka sudah memiliki jemaah, tetapi bila ada masalah dalam jemaah dia rujuk pada ‘ulama luar jemaah’ atau dukun.
Jadi setiap orang yang ingin membaiki dirinya mesti ada mursyid yang akan memimpinnya, sekalipun dia ulama, alim, hafaz Al Quran dan pakar hadis. Kenapa .. ?!? .. karena dalam ajaran Islam ini, ada ilmu yang datang dari akal, dan ada yang dari hati; ada lahir ada batin; ada yang tersurat dan ada yang tersirat. Kalau seseorang itu diberi ilmu yang tersurat, belum tentu dia akan diberi ilmu yang tersirat. Bukan semua muhaddisin akan diberi ilmu-ilmu hati. Oleh karena itu, walau ulama pakar sekalipun, mesti ada guru yang memimpinnya.
Di sinilah banyak orang salah faham, terutama para ulama. Hati mereka berkata, “Saya sudah jadi ulama, alim, sudah mengajar profesor, sudah menjadi dosen, mengapa perlu pimpinan .. ?!?.. Saya dapat pimpin diri saya sendiri. Buat apa bersandar kepada orang lain .. ?!?” Sebab mereka merasa mereka banyak ilmu dan dapat pimpin diri sendiri. Lebih-lebih lagi mereka tidak mau dipimpin oleh guru yang mursyid.
Orang yang dapat memimpin ataupun mursyid, hanyalah orang yang pintu hatinya terbuka, yaitu yang mempunyai basyirah. Bukan sekedar akal saja terbuka. Banyak orang yang akalnya terbuka, hingga dapat menangkap ilmu, tapi orang yang hatinya terbuka tidak banyak.
Mursyid itu ialah orang yang hatinya terbuka luas dan dapat memimpin orang lain. Dia tidak semestinya lebih alim daripada orang yang dipimpinnya. Imam Hambali umpamanya, dia tidak disebut ahli tasawuf sebab dia tidak mengarang kitab tasawuf, sebaliknya hanya mengarang kitab ilmu-ilmu lahir. Tetapi yang sebenarnya dia juga alim ilmu batin (karena semua Imam mahzab itu adalah mursyid dan pakar tasawuf). Dia tahu dan mengamalkannya. Menurut riwayat, Imam Hambali selalu merujuk kepada ulama-ulama, menziarahi bisyru al khafi, sering menziarahi ahli-ahli sufi di ujung negeri Baghdad.
Jadi setiap orang mesti mencari seorang guru mursyid untuk memimpin dirinya walaupun dia alim. Lahir dan batinnya perlu diserahkan kepada guru mursyid.
8. BERDO’A KEPADA ALLAH
Usaha kita tidak memberi bekas walaupun usaha itu diperintahkan oleh Allah. Kita sudah belajar, tetapi ilmu itu sebenarnya tidak memberi bekas. Kita bermujahadah, tetapi usaha kita membaiki diri itu tidak memberi bekas. Mursyid kita tidak memberi bekas walaupun kita disuruh mencari mursyid. Yang memberi bekas hanyalah Allah. Allah-lah yang menghitam putihkan nasib kita. Begitulah keyakinan kita. Sebab itu kita mesti selalu panjatkan doa kepada Allah agar Allah senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita.
Oleh karena yang muatsir hanyalah Allah, jadi tujuh hal yang diperkatakan diatas tidak muatsir, walaupun diperintah. Dia tidak memberi bekas. Sebab itulah mesti bersungguh-sungguh berdoa kepada Allah. Bila Allah beri hidayah dan taufiq semua masalah selesai. Tidak ada masalah yang sulit. Yang besar jadi kecil, yang kecil lebih lagilah jadi terlalu kecil.
Begitulah teori ilmiahnya, 8 syarat yang ditempuh oleh seseorang itu agar ia menjadi orang soleh atau menjadi orang yang bertaqwa. Bila kita menjadi orang yang bertaqwa barulah kita akan dapat ganjaran dari Allah dunia dan Akhirat. Jadi sebelum kita menjadi orang yang bertaqwa selagi itulah Allah tidak akan bantu dan bela kita serta tiada jaminan daripada Allah SWT.
Diambil dari Buku “Taqwa menurut Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad At Tamimi”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar