Mayoritas orang mengenal Kiai Hamid itu sebagai ulama besar yang amat di segani, baik itu dari kalangan kerabat dekatnya, maupun dari orang yang mengenal dia. Disamping petuah-petuah dan nasehat-nasehatnya yang bijak dan bermanfaat. Beliau juga dikenal sebagai seorang wali.
Dalam pendapat umum, kebanyakan orang mengatakan dan beranggapan, biasanya seorang wali itu mempunyai sisi keanehan yang tidak bisa di nalar dengan logika. Dengan keanehan yang dimilikinya itu, kebanyakan orang merasa segan dan menganggap Kiai Hamid memiliki mujizat.
Dalam pendapat umum, kebanyakan orang mengatakan dan beranggapan, biasanya seorang wali itu mempunyai sisi keanehan yang tidak bisa di nalar dengan logika. Dengan keanehan yang dimilikinya itu, kebanyakan orang merasa segan dan menganggap Kiai Hamid memiliki mujizat.
Walau orang sudah mengenal nama Kiai Hamid, akan tetap, tidak banyak yang tahu siapa itu sebenarnya beliau (Kiai Hamid).
Seperti halnya kebanyakan orang mengenal Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani sebagai sultanul auliya’, tidak banyak yang tahu bahwa sebetulnya Syekh Abdul Qodir adalah menguasai 12 disiplin ilmu.
Beliau mengajar ilmu qiraah, tafsir, hadits, nahwu, sharaf, ushul fiqh dll. Beliau sendiri berfatwa menurut madzhab Syafi’I dan Hanbali. Juga Sahabat Umar bin Khattab, orang hanya mengenal sebagai Khalifah kedua dan Panglima perang.
Padahal beliau juga wali besar. Beliau pernah mengomando pasukan muslimin yang berada di luar negeri cukup dari mimbar Masjid di Madinah dan pernah menyurati dan mengancam sungai Nil di Mesir yang banyak tingkah minta tumbal manusia, hingga nurut sampai sekarang.
Kiai Abdul Hamid yang punya nama kecil Abdul Mu’thi lahir di Lasem Rambang Jawa Tengah tahun 1333 H bertepatan dengan tahun 1914 M. dari pasangan Kiai Abdullah bin Umar dengan Raihanah binti Kiai Shiddiq. Beliau yang biasa dipanggil Mbah Hamid ini adalah putra keempat dari 12 saudara.
Seperti umumnya anak cerdas, Hamid pada waktu kecil nakalnya luar biasa, sehingga dia yang waktu kecil dipanggil Dul ini panggilannya dipelesetkan menjadi “Bedudul”.
Kenakalannya ini dibawa sampai menginjak usia remaja, dimana dia sering terlibat perkelahian dengan orang China yang pada waktu itu dipihak para penjajah.
Pernah suatu saat dia jengkel melihat lagak orang China yang congkak dan sombong, kemudian orang China tersebut ditempeleng (ditampar) sampai klenger (pingsan). Dengan kejadian ini, banyak orang china yang tidak terima khususnya darai kalangan kerabatnya. Dan karena ini pula, dia dicari-cari orang China kemudian oleh ayahnya dipondokkan ke Termas Pacitan.
Sewaktu dia belajar di Termas, dia sering bermain ke rumah kakeknya, Kiai Shiddiq di Jember dan kadang pula, dia juga bertandang ke rumah pamannya Kiai Ahmad Qusyairi di Pasuruan. Sehingga, sebelum dia pindah ke Pasuruan, dia sudah dikenal dan tidak asing lagi bagi masyarakat disana.
Setelah berada dan belajar di pesantren Termas, dia dipercaya sebagai lurah (pemimpin santri), Kiai Hamid sudah mulai menampakkan perubahan sikapnya, amaliyahnya mulai instensif dan konon dia suka berkhalwat disebuah gunung dekat pesantren untuk membaca wirid. Semakin lama, dia semakin jarang keluar kamar. Sehari-hari di kamar saja, entah apa yang diamalkannya. Sampai-sampai beberapa kawannya menggoda dia. Saat Kiai Hamid berada di kamar dan lama tidak keluar, kawan-kannya mengunci pintu kamar dari luar. Disinilah muncullah keanehan dari Kiai Hamid. Walau kamarnya terkunci dari luar.
Tapi Kiai Hamid tetap bisa masuk dan keluar dari kamar, seperti biasanya. Keanehan inilah yang membuat kawan-kawan Kiai Hamid merasa segan pada beliau.
TAWADLU’ DAN DERMAWAN
Kiai Hamid yang kemudian diambil menantu Kiai Qusyairi adalah sosok yang halus pembawaannya. Meski sebagai orang alim dan menjadi menantu kiai, beliau tetap tawadlu’ (rendah hati). Suaranya pelan dan sangat pelan. Ketika apa saja apelan, entah mengajar, membaca kitab, berdzikir, shalat maupun bercakap-cakap dengan tamu.
Kelembutan suaranya sama persis dengan kelembutan hatinya. Beliau mudah sekali menangis. Apabila ada anaknya yang membandel dan akan memarahinya, beliau menangis dulu, akhirnya tidak jadi marah. “Angel dukane, gampang nyepurane”, kata Durrah, menantunya.
Kebersihan hatinya ditebar kepada siapa saja, semua orang merasa dicintai beliau. Bahkan kepada pencuri pun beliau memperlihatkan kasih sayangnya. Beliau melarang santri memukuli pencuri yang tertangkap basah di rumahnya. Sebaliknya pencuri itu di beri makan dan minum sekenyang-kenyangnya. Lalu dibiarkan pulang dengan aman serta di bekali dengan uang secukupnya, bahkan beliau juga berpesan kepada pencuri tersebut, agar berkenan mampir lagi kalau ada waktu.
Dengan kejadian seperti ini, dapat di lihat dan di renungkan, betapa bijaksana dan rendah hati beliau pada setiap orang. Tidak peduli itu dari keluarga dan santri-santinya. Beliau juga mencerminkan pada orang lain, walau itu seorang pencuri sekalipun yang berniat buruk pada beliau.
Sikap tawadlu’ sering beliau sampaikan dengan mengutip ajaran Imam Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam; “Pendamlah wujudmu di dalam bumi khumul (ketidakterkenalan)”. Artinya janganlah menonjolakan diri.
Dan peasan ini selalu dibuktikan dalam kehidupannya sehari-hari. Bila ada undangan suatu acara, beliau memilih duduk bersama orang-orang biasa, di belakang. Kalau ke masjid, dimana ada tempat kosong disitu beliau duduk, tidak mau duduk di barisan depan karena tidak mau melangkahi tubuh orang.
Kiai Hamid yang wafat pada tahun 1982 juga dikenal sebagai orang yang dermawan. Biasanya, kebanyakan orang kalau memberi pengemis dengan uang recehan Rp. 100,-. Tidak demikian dengan Kiai Hamid, beliau kalau memberi tidak melihat berapa uang yang dipegangnya, langsung diserahkan.
Kalau tangannya kebetulan memegang uang lima ribuan, ya uang itu yang diserahkan kepada pengemis. Tak hanya bentuk uang, tapi juga barang. Dua kali setahun beliau selalu membagi sarung kepada masing-masing anggota keluarga.
ORANG ALIM.
Biasanya orang yang terkenal dengan kewaliannya hanya dipandang dari kenyentrikannya saja. Tapi tidak demikian dengan Kiai Hamid, beliau dipandang orang bukan hanya dari kenylenehannya, tapi dari segi keilmuannya, beliau juga sangat dikagumi banyak kiai. Karena, memang sejak dari pesantren beliau sudah terkenal menguasai berbagai disiplin ilmu, mulai dari ilmu kanoragan, ketabiban, fiqih, sampai ilmu Arudl beliau sangat menguasai. Terbukti beliau juga menyusun syi’iran.
Karena kedalaman ilmunya itu, masyarakat meminta beliau menyediakan waktu untuk mengaji. Akhirnya beliau menyediakan waktu Ahad pagi selepas subuh. Adapun kitab yang dibaca kitab-kitab tasawwuf, mulai dari yang kecil seperti kitab Bidayatul Hidayah, Salalimul Fudlala’ dan kemudian dilanjutkan kitab Ihya’.
Didalam mendidik atau mengajar, Kiai Hamid mempunyai falsafah yang beranjak dari keyakinan tentang sunnatullah, hukum alam. Ketika ada seorang guru mengadu bahwa banyak murid-muridnya yang nilainya merah.
Didalam mendidik atau mengajar, Kiai Hamid mempunyai falsafah yang beranjak dari keyakinan tentang sunnatullah, hukum alam. Ketika ada seorang guru mengadu bahwa banyak murid-muridnya yang nilainya merah.
Beliau lalu memberi nasehat dengan falsafah pohon kelapa. “Bunga Kelapa (manggar) kalau jadi kelapa semua yang tak kuat pohonnya atau buahnya jadi kecil-kecil” katanya menasehati sang guru. “Sudah menjadi sunnatullah,” katanya, bahwa pohon kelapa berbunga (manggar), kena angin rontok, tetapi tetap ada yang berbuah jadi cengkir. Kemudian rontok lagi. Yang tidak rontok jadi degan. Kemudian jadi kelapa. Kadang-kadang sudah jadi kelapa masih dimakan tupai.
IJAZAH-IJAZAH
Seperti kebanyakan para kiai, Kiai Hamid banyak memberi ijazah (wirid) kepada siapa saja. Biasanya ijazah diberikan secara langsung tapi juga pernah memberi ijazah melalui orang lain. Diantara ijazah beliau adalah :
Seperti kebanyakan para kiai, Kiai Hamid banyak memberi ijazah (wirid) kepada siapa saja. Biasanya ijazah diberikan secara langsung tapi juga pernah memberi ijazah melalui orang lain. Diantara ijazah beliau adalah :
1. Membaca Surat Al-Fatihah 100 kali tiap hari. Menurutnya, orang yang membaca ini bakal mendapatkan keajaiban-keajaiban yang terduga. Bacaan ini bisa dicicil setelah sholat Shubuh 30 kali, selepas shalat Dhuhur 25 kali, setelah Ashar 20 kali, setelah Maghrib 15 kali dan setelah Isya’ 10 kali.
2. Membaca Hasbunallah wa ni’mal wakil sebanyak 450 kali sehari semalam.
3. Membaca sholawat 1000 kali. Tetapi yang sering diamalkan Kiai Hamid adalah shalawat Nariyah dan Munjiyat.
4. Membaca kitab Dala’ilul Khairat. Kitab ini berisi kumpulan shalawat. (m. muslih albaroni).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar