Memang betul apa yang dikatakan penduduk, kalau Khalifah Umar bin Khaththab telah berubah ingatan. Banyak yang melihatnya dengan mata kepala sendiri. Barangkali karena Umar di masa mudanya sarat dengan dosa, seperti merampok, mabuk-mabukkan, malah suka mengamuk sebab dan tanpa berperi kemanusiaan, sampai-samapi orang yang tidak bersalah banyak yang menjadi korban. Itulah yang mungkin telah menyiksa batinnya dan pikirannya, sehingga ia ditimpa penyakit jiwa.
Beberapa hari yang lalu Umar sering menangis sendirian sesudah selesai menunaikan salat. Dan tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak, juga sendirian. Tidak ada orang lain yang membuatnya menangis ataupun tertawa. Dan hal iitu sering dilakukan berulang-ulang. Bila demikian, bukankah hal itu merupakan isyarat yang jelas bahwa Umar bin Kaththab sudah gila .. ?!? ..
Abdurrahman bin Auf, sebagai salah seorang sahabat Umar yang paling akrab, merasa tersinggung dengan perkataan serta tuduhan para penduduk, melihat kenyataan ini, dia sangat murung mendengar tuduhan itu. Apalagi, hamper semua rakyat Madinah telah sepakat menganggap Umar betul-betul sinting. Dan,sudah tentu, orang sinting tidak layak lagi memimpin umat atau negara.
Suatu hari dan yang lebih mengejutkan oleh rakyat madinah, Disaat Umar bin Khaththab melakukan salat Jum'at, ketika sedang berada di mimbar untuk membacakan khotbahnya, sekonyong-konyong Umar bin Khaththab berseru dengan lantang, "Hai sariah, hai tentaraku .. Bukit itu .. bukit itu .. bukit itu .. !?! .." .. mendengar dan melihat kenyataan ini, Jemaah pun geger. Sebab ucapan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan isi khotbah yang disampaikan. "Wah, khalifah kita benar-benar sudah gila," gumam rakyat Madinah yang menjadi makmum salat Jumat hari itu.
Tetapi Abdurrahman tidak mau bertindak gegabah, ia harus tahu betul, apa sebabnya Umar berbuat begitu. Maka dengan keingin tahuan yang tersimpan, dia pun mendatangi Umar bin Khaththab, dan dia pun bertanya, "Wahai Amirul Mukminin .. Mengapa engkau berseru demikian di sela-sela khotbah .. dan mengapa pula seraya pandangan engkau menatap di kejauhan .. ?!? .."
Umar bin Khaththab dengan tenang menjelaskan, "Begini, wahai sahabatku. Beberapa pekan yang lewat aku mengirimkan Suriah, pasukan tentara yang tidak kupimpin langsung, untuk membasmi kaum pengacau. Tatkala aku sedang berkhotbah, kulihat pasukan itu dikepung musuh dari segala penjuru. Kulihat pula satu-satunya benteng untuk mempertahankandiri adalah sebuah bukit dibelakang mereka. Maka aku berseru : bukit itu .. bukit itu .. bukit itu! .."
Abdurrahman pun megerutkan kening setengah tidak percaya .. "Lalu, mengapa beberapa hari yang lalu engkau sering menangis dan tertawa sendirian selesai melaksanakan salat fardhu?" tanya Abdurrahman pula.
Umar bin Khaththab menjawab, "Aku menangis .. kalau teringat kebiadabanku sebelum berkeyakinan dalam Islam. Karena waktu itu, aku teringat pernah menguburkan anak perempuanku hidup-hidup. Dan aku tertawa jika teringat akan kebodohanku sendiri. Diamana waktu itu, aku bikin patung dari tepung gandum, dan kusembah-sembah seperti Tuhan."
Mendengar jawaban ini Abdurrahman hanya diam terpaku, dengan tanda Tanya dan ketidak percayaan, lantas diapun mengundurkan diri dari hadapan Khalifah Umar bin Khaththab. Ia belum bisa menilai, sejauh mana kebenaran ucapan Umar tadi. Ataukah hal itu justru lebih membuktikan ketidakwarasannya sehingga jawabannya pun kacau balau .. !?! .. Masak ia dapat melihat pasukannya yang terpisah amat jauh dari masjid tempatnya ia berkhotbah .. ?!? .. Rasa penasaran itu makin menyelimuti hati dan pikirannya dan kadangkala diapun menguatirkan keadaan Umar bin Khaththab.
Akhirnya, bukti itupun datang tanpa dimintanya. Yaitu manakala sariah yang kirimkan Umar bin Khaththab tersebut telah kembali ke Madinah. Wajah mereka berbinar-binar meskipun nyata sekali tanda-tanda kelelahan dan bekas-bekas luka yang diderita mereka. Mereka datang membawa kemenangan.
Komandan pasukan itu, pada hari berikutnya, bercerita kepada masyarakat Madinah tentang dasyatnya peperangan yang dialami mereka. "Kami dikepung oleh tentara musuh, tanpa harapan akan dapat meloloskan diri dengan selamat. Lawan secara beringas menghantam kami dari berbagai jurusan. Kami sudah luluh lantak. Kekuatan kami nyaris terkuras habis. Sampai tibalah saat salat Jumat yang seharusnya kami kejakan. Persis kala itu, kami mendengar sebuah seruan gaib yang tajam dan tegas: "Bukit itu .. bukit itu .. bukit itu .. !?!" Tigakali seruan tersebut diulang-diulang sehingga kami tahu maksudnya. Serta-merta kami pun mundur ke lereng bukit. Dan kami jadikan bukit itu sebagai pelindung di bagian belakang. Dengan demikian kami dapat menghadapi serangan tentara lawan dari satu arah, yakni dari depan. Itulah awal kejayaan kami."
Abdurrahman mengangguk-anggukkan kepala dengan takjub. Begitu pula masyarakat yang tadinya menuduh Umar bin Khaththab telah berubah ingatan. Abdurrahman kemudian berkata, "Biarlah Umar dengan kelakuannya yang terkadang menyalahi adat. Sebab ia dapat melihat sesuatu yang indera kita tidak mampu melacaknya"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar