- Motivasi - "Cara terbaik untuk menghargai kejadian yang hadir menerpa, hanya dengan menikmatinya tanpa memiliki penilaian negatif" .. Pujangga Giras - Cak Dion's Lapendoz - Pujangga Giras

<< Hargai karya orang lain, "NO - PLAGIAT" >>

Minggu, 01 Agustus 2010

PAKU DAN TIANG

Ada seorang ikhwah yang mempunyai seorang anak lelaki yang bernama si Fulan. Si Fulan tumbuh besar menjadi seorang lelaki sehat dan gagah, tapi sungguh amat di sayangkan, dari cermin kondisi sehat dan gagah itu, tapi tidak ditunjang aklak yang baik oleh si Fulan.
Hampir tipa hari noda demi noda di pupuk dalam dirinya, dia lalai menunaikan dan menjalankan suruhan agama. Meskipun mulai sejak dini si Fulan telah berbuih ajakan dan nasihat, suruhan dan perintah dari ayahnya agar si Fulan bersembahyang, puasa dan melaikukan hal lain yang sebagi perntis amal kebajikan.
Tapi si Fulan tak pernah menghiraukannya, justru dia acap kali membantah dengan alasan yang dibuat-buat, dan dia tetap meninggalkan apa yang dianjurkan oleh syariat agama. Sebaliknya justru amal kejahatan itulah yang menjadi kegemarannya dan juga menjadi kebiasaannya. Berjudi, minum-minuman keras, dan seribu satu macam jenis kebiasaannya lagi yang menjadi kemegahannya.

Suatu hari ikhwah tadi memanggil anaknya dan berkata,
"Si Fulan, kau ni terlalu sangat lalai dan berbuat kemungkaran. Mulai hari ini aku akan tancapkan satu paku di tiang yang ada ditengah-tengah halaman rumah kita. Setiap kali kau berbuat satu kejahatan,maka aku akan benamkan satu paku ke tiang ini. Dan setiap kali kau berbuat satu kebajikan, sebatang paku akan kucabut keluar dari tiang ini."

Pada hari-hari selanjutnya, si Ayah berbuat seperti mana yang dia janjikan, dan setiap hari dia akan memukul beberapa batang paku ke tiang tersebut. Kadang-kadang sampai berpuluh-puluh paku dalam satu hari. Dan si Ayah jarang-jarang benar mencabut keluar paku dari tiang.

Hari silih berganti, beberapa purnama sudah berlalu, dari musim penghujan berganti kemarau panjang. Tahun demi tahun beredar. Tiang yang berdiri megah di halaman kini telah hampir dipenuhi dengan tusukan paku-paku dari bawah sampai ke atas. Hampir setiap permukaan tiang itu dipenuhi dengan paku-paku. Ada yang berkarat karena tertimpa hujan dan panas. Setelah melihat keadaan tiang yang bersusukan dengan paku-paku yang menjijikkan pandangan mata, timbullah rasa malu pada diri si Fulan. Maka dia pun berazamlah untuk memperbaiki dirinya.

Mulai detik itu, si Fulan mulai sembahyang. Hari itu saja lima butir paku dicabut ayahnya dari tiang. Besoknya sembahyang lagi ditambah dengan sunat-sunatnya. Lebih banyak lagi paku tercabut. Hari berikutnya si Fulan tinggalkan sisa-sisa maksiat yang melekat. Maka semakin banyaklah tercabut paku-paku tadi.
Hari demi hari, semakin banyak kebaikan yang si Fulan lakukan dan semakin banyak maksiat yang ditinggal, hingga akhirnya hanya tinggal sebatang paku yang tinggal melekat di tiang.

Maka ayahnyapun memanggil anaknya dan berkata :
"Lihatlah anakku, ini paku terakhir, dan akan aku cabutkannya keluar sekarang. Tidakkah kamu gembira .. ?!? ..".
Si Fulan merenung pada tiang tersebut, tapi sebaliknya justru tidak melahirkan rasa gembira sebagai yang disangkakan oleh ayahnya, dia mula menangis terisak-isak.
"Kenapa engkau menangis anakku .. ?!? .." tanya ayahnya dengan perasaan yang tak menentu, "Aku menyangkakan tentunya kau gembira karena semua paku-paku tadi telah tiada."
Dalam nada yang sayu Si Fulan mengeluh, "Wahai ayahku, sungguh benar katamu, paku-paku itu telah tiada, tapi aku bersedih parut-parut lubang dari paku itu tetap kekal ditiang, bersama dengan karatnya."

Seluruh rekan atau sahabat yang dimuliakan oleh ALLAH, Dengan dosa-dosa dan kemungkaran yang seringkali diulangi hinggakan menjadi suatu kebiasaan, kita mungkin boleh mengatasinya, atau secara beransur-ansur menghapusnya, tapi ingatlah bahwa parut-parutnya akan kekal.
Dari itu, bilamana kita menyadari diri ini melakukan suatu kemungkaran, ataupun sedang diambang pintu habit yang buruk, maka berhentilah serta-merta. Kerana setiap kali kita bergelimang dalam kemungkaran, maka kita telah membenamkan sebilah paku lagi yang akan meninggalkan parut pada jiwa kita, meskipun paku itu kita cabut kemudiannya. Apatah lagi kalau kita biarkan ianya berkarat dalam diri ini sebelum dicabut. Lebih-lebih lagilah kalau dibiarkan berkarat dan tak dicabut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar