Piwulang “Manunggaling Kawula Gusti” (Ajaran Bersatunya Manusia dengan Tuhan) merupakan ajaran Jawa tentang kupasan dan tanggapan diri pribadi manusia (ciptaan) atas belas kasih atau welas asih Tuhan (Pencipta) yang berkenan melimpahkan segala karunia serta menyertai dan menuntun setiap hati sejati manusia, hingga manusia bisa mengetahui akan jejak diri pribadi dan bisa merumuskan kedalam keheningan (Manunggaling Gusti Kawula).
Betapa besar dan berlimpahnya karunia yang di dapat manusia dari-Nya, hal ini tercermin dan bisa direnungkan saat manusia diciptakan, lalu terlahir di alam dan merasakan kehidupan, dan tanpa ada batas, manusia di beri kebebasan untuk, menjaga, memelihara dan menikmati isi dunia yang di berikan serta disediakan oleh-Nya.
Betapa besar dan berlimpahnya karunia yang di dapat manusia dari-Nya, hal ini tercermin dan bisa direnungkan saat manusia diciptakan, lalu terlahir di alam dan merasakan kehidupan, dan tanpa ada batas, manusia di beri kebebasan untuk, menjaga, memelihara dan menikmati isi dunia yang di berikan serta disediakan oleh-Nya.
Tuhan selalu menyertai manusia sebagai ciptaan paling sempurna yang diutus menjadi “kepanjangan tangan Tuhan” supaya hidup rukun dengan sesama dan alam semesta sebagaimana diteladankan Tuhan, untuk memuliakan nama-Nya.
Karena kasih-Nya (katresnan Dalem Gusti), Tuhan tidak otoriter tetapi menghargai manusia sebagai pribadi utuh yang diberi kebebasan. Kebebasan inilah yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi berbeda satu dengan yang lain.
Upaya diri pribadi manusia yang terbuka hatinya menanggapi “Manunggaling Gusti Kawula” ini dilakukan secara sendiri-sendiri atau berkelompok dengan laku glenikan sehingga menghasilkan ngelmu klenik yang disebut ajaran (piwulang atau kawruh) “Manunggaling Kawula Gusti”.
Ada beberapa pengupasan dalam “Manunggaling Kawula Gusti” yang tercermin dari diri pribadi, sebagai berikut :
- Sesungguhnya pengetahuan manusia tentang “dirinya sendiri” masih sangat dangkal dari pada “diri sendiri sejati” yang diberikan Sang Pencipta. Atau dengan kata lain Sang Pencipta mengenal diri manusia lebih baik daripada manusia mengenal dirinya sendiri, Tuhan welas asih kepada manusia lebih daripada manusia mengasihi dirinya sendiri.
- Bahwa perbuatan yang selama ini dilakukan kepada Tuhan, sesama dan alam semesta yang menurut manusia sudah baik ternyata masih sebatas ragawi yang kasad mata penuh pamrih dan pilih kasih. Semua itu semata-mata hanya untuk kepentingan manusia (dirinya sendiri). Contoh : Ketika seseorang beribadah kepada Tuhan menganggap yang dilakukan sudah cukup (karena sikap dan perbuatannya tidak berubah), tetap melakukan kekerasan phisik / non phisik, pemarah, dlsb karena dilakukan secara normatif, agamis tanpa hati sejati.
- Demikian pula ketika perbuatan baik kepada sesama tidak mendapatkan balasan, tanggapan semestinya atau bahkan sama sekali tidak ditanggapi menjadi kecewa, marah, tersinggung, dlsb. Padahal kasih yang diteladankan Tuhan tidak pernah menuntut balas dan pilih kasih : oksigen untuk bernapas manusia, hangatnya matahari, segarnya air hujan diberikan kepada setiap orang secara cuma-cuma tanpa membedakan status, etnis/ warna kulit, agama, dlsb.
- Untuk menggali kesadaran diri hati sejati diperlukan percaya sejati kepada Tuhan. Percaya sejati berarti berserah diri tanpa reserve, melepaskan nafsu ingin memiliki dan kemauan sendiri kepada kehendak Tuhan, semua yang ada dipersembahkan sebagai alat-Nya memuliakan nama-Nya.
- Niat berserah diri atau pasrah kepada Tuhan hanya dapat diwujudkan dengan laku batin meneng atau diam terpusat di hati : tersenyum, rileks melepaskan semua ketegangan tubuh dan pikiran. Laku meneng mengarahkan hati kepada Tuhan dilakukan secara tekun tanpa target, tanpa pamrih dan tidak memaksakan diri, batin menjadi wening (jernih). Rasa ati wening ini menumbuhkan kesadaran hati sejati bahwa Tuhan sungguh hadir mengasihi dirinya. Buahnya hati sejati menjadi dunung (mengerti) bahwa hidupnya harus menyatu dengan Sang Pencipta. (makna kebatinan).
- Kesadaran Manunggaling Kawula Gusti berarti harus mau meneladani kasih-Nya yang diungkapkan dalam hidup sehari-hari semakin berbelas kasih sejati kepada sesama dan alam semesta ; memaafkan kesalahan, menyesal dan mohon maaf kepada Tuhan dan sesama atas segala kesalahan (yang sering membuat tertekan hatinya), menerima orang lain dan keadaan/peristiwa seperti apa adanya, tidak akan mempengaruhi orang lain dengan paksa, merubah sikap kekerasan menjadi tanpa kekerasan, dari permusuhan menjadi damai, dari hidup dengan berbagai kepalsuan menjadi jujur dan apa adanya, dari sombong, egois dan menonjolkan diri menjadi rendah hati dan peka akan perasaan orang lain, dari serakah menjadi ikhlas untuk berbagi, berbela rasa, melestarikan alam semesta, tidak pernah mengadili orang lain, mengritik, memaksakan kehendak, dlsb. Relasi spiritual Kawula Gusti ini harus bermuara pada sikap hormat atau ngajeni sesamining gesang. Sikap ini membuahkan relasi welas asih sejati dalam persaudaraan.
- Laku batin mutlak harus dilakukan, karena tanpa laku batin terpusat di hati (bukan konsentrasi pikiran yang menegangkan) maka orang hanya mengerti sebatas wacana tetapi tidak menghayati. Tuhan hanya dapat diabdi dengan cinta dalam perbuatan nyata, tidak hanya dipikirkan. Hanya dengan perbuatan belas kasih sejati Tuhan dapat diperoleh, tetapi dengan pikiran tidak mungkin. Sebagai pengandaian, untuk memperoleh prestasi olah raga diperlukan ketekunan latihan, demikian pula untuk dapat menanggapi kasih-Nya diperlukan ketekunan olah batin yang diawali dengan senyum, sikap rileks menghilangkan ketegangan tubuh dan pikiran tanpa memaksakan diri, untuk dapat menyadari kehadiran-Nya.
- Sikap percaya dan berserah diri manunggal dengan Tuhan ini bisa diandaikan sebagai hak dan kewajiban, ketika orang telah memenuhi kewajibannya dengan baik pasti haknya akan diperoleh. Apabila orang sungguh percaya kepada Tuhan, mengarahkan hati sejati kepada-Nya yang diungkapkan dengan perbuatan baik penuh welas asih, maka orang akan dengan tegar dapat menerima setiap keadaan tanpa harus melawan dengan memaksakan kehendak, segala sesuatu yang negatif dari luar dirinya diterima dengan senyum sebagai hiburan, karena percaya bahwa kuasa welas asih & katresnan Dalem Gusti yang berkarya, diiringi ucapan syukur.
- Tidak ada rasa irihati, sombong, takut, kuatir, tegang, dihantui rasa bersalah, melainkan percaya Tuhan pasti akan mengatur memberikan kesejahteraan sejati bagi hidupnya. Demikian juga ketika berdoa memohon kepada-Nya, yakin segala permohonannya telah dikabulkan. Semua ini membuahkan rasa hati gembira, berani menghadapi kenyataan hidup, dalam segala hal selalu bersyukur (sumringah bingah, menapa-menapa wantun, syukur lan beja ingkang langgeng).
- Seseorang yang sudah mampu menjalani hidup menyatu dengan Tuhan atau “Manunggaling Kawula Gusti” berarti sudah menanggapi “Manunggaling Gusti Kawula” dengan baik. Buahnya orang menjadi sehat secara psikis karena selalu berpikir positip dan tenang atau sareh. Secara emosi menjadi lebih sabar, tidak pemarah, tidak akan putus asa, kecewa dan tidak mudah tersinggung karena yakin semua yang negatif dari luar tidak akan mempengaruhi dirinya (nyawang karep).
Secara sosial menjadi mudah bergaul dan menerima orang lain dan keadaan seperti apa adanya tanpa menimbulkan emosi negatip. Akhirnya, dengan didukung pola makan yang benar dan gerak badan cukup, semua sikap tersebut menyehatkan raga karena metabolisme tubuh normal tanpa diganggu emosi negatip yang mengakibatkan peredaran darah tidak lancar, detak jantung tidak teratur, tekanan darah naik.
- Meskipun ajaran ini tentang relasi pribadi manusia dengan Tuhan, tetapi memiliki nilai sosial dan kemanusiaan tinggi, karena sikap berserah diri kepada Tuhan selalu diungkapkan dengan perbuatan belas kasih kepada sesama dan alam semesta, dengan hati sejati sebagai nakhodanya. Ajaran ini juga upaya mengakhiri kekerasan, karena sesungguhnya kekerasan yang dilawan dengan kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru.
Ajaran “Manunggaling Kawula Gusti” ini sangat pas untuk bekal hidup jaman ini dimana orang hanya dibiasakan menggunakan otak kiri/kognisi yang menarik manusia kepada hitung-hitungan tambah dan kurang, konsumerisme, hedonisme, normatif yang hanya ragawi dan kasad mata tanpa hati sejati.
Akibatnya orang ingin cepat memperoleh hasil secara instant mengabaikan proses, untung rugi, yang disadari atau tidak mempengaruhi hidup spiritual keagamaan, persaingan, kalah menang, pembenaran diri, egoisme yang berbuntut konflik dengan kedok agama, suku dan ras, penguasaan sumberdaya alam tanpa ada kemauan melestarikan dan berbagi, kekerasan dlsb yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan sejati yang adil dan beradab.
VERSI LAIN : …
Siapa yang berada satu tubuh dengan kita, yang berfungsi menyokong kehidupan kita. Mereka adalah Indera Penglihat, Indera Pencium, Indera Pendengar, dan Indera Perasa/Peraba. Indera Penglihat diwakili oleh Mata, Indera Pencium oleh hidung, Indera Pendengar adalah Telinga, dan Mulut mewakili Indera Perasa / Peraba.
Untuk menjadi Manunggal Sejati, kendalikanlah inderamu, kendalikanlah nafsumu. Ketika seseorang melihat uang tergeletak di jalan, maka timbullah nafsu untuk memilikinya. Ketika seseorang mendengar bahwa tetangganya baru saja membeli televisi plasma 30 inci, maka timbullah nafsu untuk memiliki pula, ketika niat itu tidak sampai, maka muncullah perasaan iri dan dengki. Seorang laki-laki membaui harumnya parfum seorang gadis, kemudian ia terangsang untuk memadu asmara dengan si gadis. Seseorang yang tidak bisa menahan dirinya, menggunakan lidah dan mulutnya untuk merasakan minuman dan makanan yang dilarang. Penggunaan Sedulur Papat untuk hal yang demikian tentu akan runyam jadinya.
Ketika seseorang melihat uang tergeletak di jalan, dan hatinya tergerak untuk mengembalikan kepada yang berhak. Ketika seseorang mendengar bahwa tetangganya sukses dan itu menjadikan semangat bagi dirinya untuk meraih kesuksesan pula. Ketika Seseorang membaui wangi tubuh lawan jenisnya dan ia mampu menahan gejolak birahinya. Ketika lidah dan mulut memuji kebaikan Sang pencipta. Di sanalah letak pengendalian nafsu. Ia menghormati Sedulur Papatnya dengan menunaikan tindakan yang baik dan menjauhi kebobrokan, dan dengan cara itulah ia merawat mereka. Jadi jelaslah kini bagi mereka yang ingin menyaksikan siapa itu sedulur papatnya, silakan ambil cermin dan amati serta kenalilah mereka.
Manunggal Sejati adalah ia yang mampu mengendalikan nafsunya. Sebagai Pancer mampu mengendalikan Plasma-nya. Pencerminan Falsafah Sedulur Papat Lima Pancer tidak hanya ada di dalam diri manusia sebagai filosofi dan jalan hidup namun juga dapat dilihat pada kehidupan sehari-hari.
Di Jawa dikenal satuan minggu yang berisi 5 hari. Minggu yang berisi 5 hari ini biasa disebut Pasaran. Pasaran atau hari pasaran adalah hari dimana sebuah pasar dibuka. Biasanya yang menjadi awal adalah Pasar Kliwon yang selalu terletak di pusat kota / pusat keramaian, dan kemudian dikelilingi oleh 4 daerah lain yang masing - masing memiliki pasar yang buka pada pasaran Wage, Pon, Pahing, dan Legi.
Pada pasaran Kliwon, maka pedagang dan pembeli akan berduyun duyun menuju pasar kliwon. dan pada hari - hari berikutnya mereka akan mengunjungi pasar yang lain secara bergantian. Dengan demikian di masyarakat terdapat perputaran arus uang yang adil antara pusat dan daerah, sebab masing - masing mendapatkan giliran untuk menyelenggarakan perekonomian.
Pusat tidak melulu merampas hak-hak daerah, dan karena hak-haknya terpenuhi maka daerah-pun tidak akan berniat melepaskan diri dari kewenangan pusat. Lihatlah keadaan Nusantara masa kini, betapa arus uang hanya beredar di pusat dan di daerah - daerah banyak sekali pembangunan yang terbengkelai. Pada akibatnya hal ini menjadikan banyak daerah yang ingin melepaskan diri.
Mari kita perhatikan tipikal bentuk - bentuk kota di Jawa. Di tengah - tengah ada Alun-alun, kemudian disana ada Keraton, Penjara, Pasar dan Masjid yang mengelilinginya. Alun-alun atau tanah lapang adalah tempat Rakyat Berkumpul. Keraton adalah tempat pemerintahan, Penjara adalah tempat pelaksanaan hukuman, pasar tempat pelaksanaan perekonomian, dan masjid sebagai sarana pendidikan dan peribadatan. Jadi jelas orang Jawa selalu berorientasi pada rakyat yang disimbolkan dengan Alun-alun yang terletak di tengah-tengah keempat bangunan yang lain itu. Nah semua aktifitas yang berlangsung di pusat pemerintahan, pendidikan dan peribadatan, perekonomian, dan penegakan hukum semuanya harus bermuara pada kesejahteraan rakyat. Secara vertikal, Pemimpin adalah Pancer dan rakyat adalah Plasma.
Sinergi keduanya akan membawa kemakmuran bagi negeri yang bersangkutan.
Nah saat ini bagaimana kelakuan pemimpin kita .. ?!? ..
Sudahkah mereka berorientasi kepada rakyat .. ?!? ..
Sudahkah mereka menjadi Pancer yang dapat diandalkan .. ?!? ..
Sudahkah aktifitas pemerintahan, pendidikan dan peribadatan, kegiatan ekonomi, dan penegakan hukum dijalankan demi kemakmuran rakyat .. ?!? ..
Ketika Pancer dan Plasma bersinergi dengan sangat harmonis, maka terwujudlah apa yang disebut dengan Manunggaling Kawula Gusti. Manunggal bukanlah fusi. Manunggal adalah sinergi. Ibarat Sesotya lan embane, Permata dan cincinnya. Dalam sebuah cincin permata, masih bisa dilihat mana yang permata dan mana yang emas. Namun ketika sudah menjadi cincin maka keduanya bersinergi menjadi perhiasan yang bisa mempercantik diri seorang manusia. Jadi manunggaling kawula gusti adalah keadaan dimana Diri Pribadi menjelma menjadi sosok yang sadar akan fungsi dan peranannya.
Orang tua bila berada di rumah menjadi Pancer sebuah keluarga dimana Plasma -nya adalah putra - putrinya. Namun ketika Si Ayah bekerja di kantor, maka ia berubah menjadi Plasma dan pancernya adalah Direksi perusahaan yang bersangkutan. Ketika berada di rumah Ayah berhak mendapatkan kehormatan, namun saat berada di kantor ia harus memberikan penghormatan. Demikianlah wujud dari manunggalnya kawula lan Gusti. Kita sebagai makhluk harus Tahu Diri dan bisa menempatkan diri kita sesuai dengan bakat dan keahlian yang kita miliki. Jangan menghakimi dan mudah melaknat orang lain karena kita bukan Maha Pencipta (Allah SWT). Allah SWT-lah yang berhak menjadi hakim penentu kebenaran yang hakiki. Maka dari itu hiduplah sesuai dengan petunjuk-Nya, dan petunjuk-Nya itu sesungguhnya ada di mana-mana, karena kemanapun kita menoleh apabila kita sudah secara Konstan Sadar akan keberadaan Allah SWT, maka kemanapun kita menghadapkan wajah kita di situlah kita menatap Allah SWT.
Jadi Manunggaling Kawula Gusti belum tentu berarti bersatunya Makhluk dengan Penciptanya, melainkan sinergi diantara keduanya yang melahirkan keteraturan dan keharmonisan di alam raya ini.
Warangka manjing curiga, curiga manjing warangka.
Bagaimana bentuk sinerginya ... !?! ..
Maka kita kembali lagi ke bagian awal tulisan ini yaitu dengan jalan menyadari akan hubungan antara manusia dengan penciptanya, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan titah dumadi yang lain di alam semesta ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar