- Motivasi - "Cara terbaik untuk menghargai kejadian yang hadir menerpa, hanya dengan menikmatinya tanpa memiliki penilaian negatif" .. Pujangga Giras - Cak Dion's Lapendoz - Pujangga Giras

<< Hargai karya orang lain, "NO - PLAGIAT" >>

Rabu, 02 Mei 2012

MENGENAL ALLAH

Suatu hari Pangeran Muzaffar yang masih kanak-kanak bertanya kepada ibunda permaisuri tentang Allah.
“ Ibunda, .. Dimana Allah dan bolehkah ananda melihatNya .. !?! ..”
“Oh .. Allah itu di Arasy wahai anakku, dan kau tidak dapat melihatNya karena Allah berada nun jauh diatas 7 lapisan langit, Sedangkan langit kedua pun manusia tidak nampak. Bagaimana bentuk zatnya dan bagaimana mungkin ananda akan dapat melihat Allah yang berada di Arasy yang terletak diatas langit lapisan ke 7 .. !?! .. ”

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ’Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya. [Dzat] yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran .. ?!? .. (Q.S Yunus ayat 3)

Maka giranglah hati Pangeran Muzaffar karana telah mendapatkan jawaban atas persoalan yang selama ini sentiasa bersemayam difikirannya. Masapun berlalu .. hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun, maka telah remajalah Pangeran Muzaffar. Suatu hari Pangeran Muzaffar diperintahkan ayahandanya supaya belajar ilmu-ilmu agama dari Syeikh Abdullah selaku Mufti di negeri ayahandanya itu. Maka tidak sabar-sabarnya lagi Pangeran Muzaffar ingin segera menuntut ilmu dari Syeikh Abdullah mengingat pelajaran agama adalah yang paling disukainya. Suatu hari sambil duduk santai dengan Syeikh Abdullah tiba-tiba Pangeran Muzaffar ditanyai Syeikh Abdullah dengan 2 persoalan yang tidak asing baginya.

“Wahai Pangeran, Dimana Allah dan bolehkah Pangeran melihatNya .. !?! ..”
Sambil tersenyum Pangeran Muzaffar menjawab sebagaimana yang telah diajarkan ibunda permaisuri dahulu.
“Allah itu di Arasy wahai Syeikh Guru dan ananda tidak Boleh melihatNya karana Allah berada nun jauh diatas langit ke 7.” Tersenyum kecil Syeikh Abdullah mendengar jawaban muridnya itu dan sejenak selepas menghela nafasnya Syeikh Abdullah lalu berkata ...
“Begini ananda Putera Pangeran … Allah itu bukannya makhluk seperti kita. Sebab Allah tidak seperti kita, Apa saja hukum yang terjadi pada makhluk tidak berlaku atas Allah. Oleh karena itu Allah tidak bertempat, karena bertempat itu hukum bagi makhluk.” “Lantas dimana Allah itu wahai Syeikh Guru .. !?! ..”
“Allah itu tidak bertempat karena Dia bersifat qiammuhu binafsihi; maksudnya Allah tidak berhajat pada sesuatu zat lain untuk ditempati. Jika kita mengatakan Allah berhajat pada sesuatu zat lain untuk ditempati maka ketika itu kita telah menyerupakan Allah dengan keadaan makhluk. Ketahuilah, Allah tidak serupa dengan makhluk.” (Q.S Asy-Syuura ayat 11). yang artinya “Dia tidak menyerupai segala sesuatu.” ; Allah tidak berdiam di Arasy kerena Arasy itu adalah makhluk. Bagaimana mungkin makhluk dapat menanggung zat Allah sedang bukit dihadapan Nabi Musa pun hancur karena tidak dapat menanggung pentajallian Allah.”

Pangeran Muzaffar mengangguk- anggukkan kepalanya tanda faham. Kemudian Syeikh Abdullah menambahkan “Berkenaan dengan ananda Pangeran tidak boleh melihat Allah itu adalah betul namun bukanlah karena Allah itu jauh maka ananda Pangeran tidak boleh melihatNya.”
“Jika bukan begitu lantas bagaimana Syeikh Guru .. !?! ..” Tanya Pangeran Muzaffar bersemangat ingin tahu.
“Sebenarnya kita tidak dapat melihat Allah bukanlah karena faktor jarak tetapi karena keterbatasan kemampuan penglihatan mata manusia yang tidak mampu melihat zatNya. Ini sesuai dengan firman Allah

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Al-An’am ayat 103).

Pangeran Muzaffar terdiam mendengar hujah gurunya itu. Barulah beliau sadar bahwa apa yang menjadi pegangannya selama ini adalah salah. Pegangan yang mengatakan bahawa Allah itu di Arasy dan Allah tidak boleh dilihat karena faktor jarak adalah satu kesalahan. Uraian daripada gurunya melalui ilmu Kalam membuatkan Pangeran Muzaffar begitu kagum dengan kekuasaan akal yang dapat menguraikan segala-galanya tentang Tuhan.

Bermula dari hari itu Pangeran Muzaffar berpegang dengan hujah gurunya bahwa Allah itu tidak bertempat dan manusia tidak boleh melihat Allah karena keterbatasan kemampuan penglihatan mata manusia. Akhirnya dengan berkat ketekunan dan kesungguhan, Pangeran Muzaffar telah berhasil menguasai ilmu-ilmu ketuhanan menurut peraturan ilmu Kalam sebagaimana yang diajarkan oleh Syeikh Abdullah hingga mahir.
Masa terus berjalan dan kini Pangeran Muzaffar telah dewasa. Oleh karena begitu berminatnya mendalami tentang ilmu-ilmu ketuhanan maka beliau meminta izin dari ayahandanya untuk menperdalamkan lagi ilmu pengetahuannya dengan belajar dari guru-guru yang berada diluar istana, sementara Syeikh Abdullah telah meninggal dunia.

Pangeran Muzaffar mempunyai sikap yang aneh. Satiap hari apabila beliau melalui tempat keramaian dan pasar, untuk sampai ke rumah guru-gurunya, beliau akan bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya dengan soalan yang pernah ditanyakan kepada ibunda permaisuri yaitu dimana Allah dan bolehkah manusia melihatNya .. !?! ... Bagi siapa yang menjawab sebagaimana yang pernah dijawab oleh permaisuri, maka beliau akan membetulkan kefahaman orang itu dengan hujah almarhum gurunya Syeikh Abdullah. Jika orang itu tidak mahu tunduk dengan hujahnya maka orang itu akan dipukul sebelum diusir dari negerinya itu. Begitulah sikap Pangeran Muzaffar setiap hari sehingga pada suatu hari beliau bertemu dengan seorang tua yang sedang sibuk menyediakan air minuman untuk diberikan kepada orang yang berlalu-lalang disebuah pasar tanpa mengambil upah bayaran.

Melihat kelakuan tidak wajar / aneh orang tua itu lantas Pangeran Muzaffar mendekati.
“Hei orang tua .. mengapa kamu tidak mengambil upah atas usahamu itu .. !?! ..” Tanya Pangeran Muzaffar tegas. Orang tua yang sejak tadi begitu khusyuk membagi-bagikan minumannya itu terkejut dengan pertanyaan Pangeran Muzaffar lalu meminta Pangeran Muzaffar memperkenalkan dirinya.
"Siapakah tuan ini .. !?! ..” Tanya si Tua.
“Aku adalah Pangeran negeri ini .. !?! ..” Jawab Pangeran Muzaffar tegas.
“Oh kalau begitu Pangeran ini tentu Pangeran Muzaffar yang terkenal dengan ketinggian ilmu ketuhanan. Tapi sayang, Pangeran hanya tahu ilmu tentang Allah tetapi Pangeran sendiri belum mengenal Allah. Jika Pangeran telah mengenal Allah sudah pasti Pangeran tidak akan bertanya kepada saya semacam tadi.” Membelalak mata Pangeran Muzaffar mendengar kata-kata si Tua itu.
Hatinya terpesona dengan ungkapan ‘mengenal Allah’ yang diucapkan orang tua itu. Lantas beliau bertanya kepada orang tua itu.
“Lantas apa perbedaan antara ‘tahu’ dengan ‘kenal’ .. !?! ..”
Dengan tenang si Tua itu menjawab .. “Ibarat seseorang yang datang kepada Pangeran lantas menceritakan kepada Pangeran tentang ciri-ciri buah nangka tanpa menunjukkan zat buah nangka, maka ini kedudukan/posisi ‘tahu’ karena hanya sekadar ucapan dan orang yang berada pada mertabat/kedudukan ini mungkin akan menyangka bahawa buah cempedak itu adalah nangka karena ciri- cirinya seakan sama. Berbanding seseorang yang datang kepada Pangeran lantas menghulurkan sebiji buah nangka, maka ini mertabat/kedudukan ‘kenal’ karena zatnya telah dapat ditangkap dengan penglihatan mata dan orang yang berada pada martabat/kedudukan ini pasti dapat mengenal mana cempedak dan mana nangka dengan tepat.”

Pangeran Muzaffar mendengar dengan teliti uraian si Tua itu. Diam-diam, hatinya membenarkan apa yang dikatakan si Tua itu. Kemudian terlintas dihatinya untuk bertanyakan soalan yang lazim ditanyanya kepada orang ramai. “Kalau begitu wahai orang tua mohon jawab pertanyaan saya ini .. Dimanakah Allah dan bolehkah manusia melihatNya .. ?!? ..”
“Allah berada dimana-mana saja dan manusia boleh melihatNya.” Jawab orang tua dengan tenang. Tercengang Pangeran Muzaffar mendengar jawaban orang tua itu. Seketika kemudian terus saja orang tua itu dipukulnya sehingga jatuh tersungkur.

Melihat orang tua itu tidak mencoba mengelak atau menghindari pukulannya bahkan sama sekali tidak menunjukkan reaksi takut, maka Pangeran Muzaffar pun lantas bertanya.. “Kenapa kamu tidak mengelak pukulanku wahai orang tua .. !?! ..”
“Bukankah tadi sudah saya bilang .. Pangeran ini hanya orang yang tahu tentang Allah tetapi bukannya orang yang benar-benar mengenal Allah.”

Terdiam Pangeran Muzaffar mendengar kata-kata si Tua itu. Kemudian beliau menenangkan dirinya lantas bersegera duduk diatas tanah dihadapan orang tua itu. “Baiklah orang tua. Silahkan uraikan jawaban kamu tadi sebab aku berkeyakinan bahwa Allah itu tidak bertempat dan manusia tidak boleh melihat Allah.”
“Allah itu tidak bertempat adalah menurut pandangan hukum akal saja sedang pada hakikatnya tidak begitu.” Ujar orang tua itu sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Kemudian beliau menyambung ... “Bukankah Allah itu wujudNya Esa .. !?! ..”
“Benar.” Jawab Pangeran Muzaffar.
“Jika Allah itu wujudNya Esa maka sudah barang tentu tidak ada wujud sesuatu bersertaNya.”
“Benar.” Jawab Pangeran Muzaffar.
“Lantas bagaimanakah kedudukan wujud alam ini jika Allah itu diyakini wujud tanpa ada selain zat yang wujud bersertaNya dengan pandangan mata hati .. !?!.. ”
Pangeran Muzaffar memejamkan matanya rapat-rapat lantas dikerahkan pandangan mata hatinya untuk memahami persoalan yang ditanyai orang tua itu. Tiba-tiba akalnya dapat menangkap dan memahami hakikat alam ini, jika dia merujuk kepada ruang lingkup keesaan wujud Allah. Lantas beliau membuat kesimpulan ..
“Jika dipandang dari sudut Esanya wujud Allah maka alam ini tidak lain melainkan diriNya sendiri … Tiba-tiba saja perkataan itu meluncur keluar dari bibirnya. terbelalak matanya saat mendengar ucapannya sendiri. Maka lidahnya kelu dan akalnya lumpuh. Terkejut. Tercengang dan Terbungkam.
“Jadi kalau begitu ketika Pangeran memandang alam ini, siapa yang Pangeran pandang pada hakikatnya .. !?! ..”
“Pada hakikatnya aku memandang Allah .. !?! ..”
“Nah kalau begitu bukankah Allah telah berfirman : “Dimana saja kamu menghadap, disitulah wajah Allah”  (Q.S Al Baqarah ayat 115 dan dalam Q.S Al Hadiid ayat 3)

“Dialah yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin.”
Kemudian orang tua itu bertanya lagi .. “Dan sekarang dapat atau tidak Pangeran melihat Allah ketika ini”
“Ya .. aku menyaksikan dengan ainul basyiroh.” Perlahan-lahan bercucuran air mata Pangeran Muzaffar. Beliau menangis karena sekarang beliau memahami kenapa orang tua itu tidak mengambil upah atas usahanya dan tidak mengelak ketika dipukul. Semuanya karena yang dipandang adalah pentajallian Allah. Dalam hati perlahan-lahan beliau berkata .. “Memang benar sesungguhnya pada sudut ini, Allah berada dimana-mana saja dan manusia boleh melihat Allah.”

“Pangeran .. inilah yang dinamai sebagai ilmu hakikat.” Kata orang tua tadi.
Semenjak hari itu, Pangeran Muzaffar terus mendampingi orang tua itu untuk mempelajari lebih dalam mengenai ilmu hakikat hingga diangkat beliau oleh gurunya dalam kedudukan Syeikh ilmu hakikat. Demi mempraktikkan ilmu-ilmu hakikat yang halus, Pangeran Muzaffar telah menjadi seorang ahli ibadah yang alim. Beliau tidak lagi berpegang dengan fahaman almarhum gurunya yaitu Syeikh Abdullah karena baginya jalan yang boleh membuatkan seseorang itu dapat mengenal Allah dengan haqqul yaqin ialah dengan ilmu hakikat. Beliau telah meninggalkan peraturan hukum akal sama sekali dan mulai duduk didalam peraturan musyahadah. Bagi beliau, ilmu Kalam yang dituntutnya selama ini adalah semata-mata salah.

Setelah kemangkatan ayahandanya maka Pangeran Muzaffar ditabalkan menjadi sultan dinegerinya dan sekarang beliau menyandang gelaran Sultan Muzaffar Syah pada usia 50 tahun. Beliau memerintah negerinya dengan adil dan saksama namun sikap tidak wajar/anehnya yang dahulu masih diteruskannya. Dimana saja beliau pergi beliau tetap akan bertanyakan soalannya yang lazim itu. Jika orang yang ditanya tidak dapat menjawab maka akan diajarkan jawabannya menurut ilmu hakikat dan jika orang itu membangkang akan dihukum mati.
Akhirnya kebiasaan Sultan Muzaffar Syah ini membuat seluruh rakyat negerinya menganut faham hakikat. Karena itu rakyat jelata dinegerinya hidup aman dan makmur.

Suatu petang Sultan Muzaffar Syah yang terkenal sebagai Mursyid ilmu hakikat berjalan-jalan disebuah padang rumput yang luas dengan ditemani para pembesar istana. Pandangannya tertarik pada ulah seorang pemuda pengembala kambing usia 30an yang sedang berusaha menghalau seekor serigala yang mencoba memakan kambing gembalaannya. Baginda mendatangi pemuda gembala itu.
Kelihatan pemuda itu hanya memakai pakaian yang dibuat dari karung goni dan tidak memakai sandal sebagai alas kaki. Rambutnya kering berdebu, bibirnya kering dan badannya kurus.

“Wahai pemuda .. kenapa kamu menghalau serigala itu dari memakan kambing itu, tidakkah kamu menyaksikan hakikat serigala itu .. !?! .. Maka biarkan saja Allah bertindak menurut kemahuanNya.” Mendengar kata-kata Sultan Muzaffar Syah itu sekonyong-konyong pemuda gembala itu menggenggam pasir lantas dilemparkannya pasir itu ke muka Sultan Muzaffar Syah.
Kemudian pemuda gembala itu membungkuk untuk mengambil segenggam pasir lagi lalu dilemparkan lagi ke muka Sultan Muzaffar Syah. Sultan Muzaffar Syah hanya tercengang saja mungkin terkejut dengan tindakkan pemuda gembala itu. Pemuda gembala itu terus mengambil segenggam pasir lagi dan melihat itu seorang pembesar istana yang berada disitu memukul pemuda gembala hingga pingsan.

Saat siuman dari pingsan, pemuda gembala itu mendapati tangan dan lehernya telah dipasung dengan pasungan kayu didalam sebuah penjara. Tidak lama kemudian datang dua orang pengawal istana dengan kasar merenggut badannya dan membawanya ke suatu tempat yang amat asing baginya. Tidak lama berjalan akhirnya mereka sampai dihadapan singgahsana Sultan Muzaffar Syah.
“Mengapa kamu melempari muka aku dengan pasir?” Tenang saja pertanyaan Sultan Muzaffar Syah.
“Karena tuanku mengatakan bahwa serigala itu adalah Allah yakni Tuhan saya.”
“Bukankah hakikat serigala itu memang begitu .. !?! .. ” Tanya Sultan Muzaffar Syah heran.
“Nampaknya pendapat yang mengatakan bahwa tuanku ini adalah seorang yang mengenal Allah adalah bohong semata-mata.”
“Kenapa kamu berkata begitu?”
“Sebab orang yang sudah sempurna mengenal Allah pasti merindui untuk ‘menemui’ Allah.”

Setelah 30 tahun baru hari ini hati Sultan Muzaffar Syah terpesona lagi apabila mendengar ungkapan ‘menemui Allah’ yang diucapkan oleh pemuda gembala itu. Dahulu hatinya pernah terpesona dengan ungkapan ‘mengenal Allah’.
Saat itu juga Sultan Muzaffar Syah memerintahkan agar pasung kayu yang dikenakan pada pemuda gembala itu ditanggalkan.
“Lantas apa utamanya ‘bertemu’ berbanding ‘kenal’ .. !?! ..” Tanya Sutan Muzaffar Syah.
“Adakah tuanku mengenali sifat-sifat Rasulullah .. !?! ..” Tanya pemuda gembala itu tiba-tiba .. “Ya, aku kenal akan sifat-sifat Rasulullah.”
“Lantas apa keinginan tuanku terhadap Rasulullah .. !?! ..”
“Semestinyalah aku mahu dan rindu untuk menemuinya karena baginda adalah kekasih Allah .. !?! ..”
“Nah begitulah … Orang yang sempurna pengenalannya terhadap sesuatu pasti terbit rasa ingin bertemu dengan sesuatu yang telah dikenalinya itu dan bukannya hanya sekadar berputar-putar didaerah ‘mengenal’ semata-mata.”
Tiba-tiba saja Sultan Muzaffar Syah berteriak kuat dengan menyebut perkataan ‘Allahu Akbar’ sekuat-kuat hatinya lalu baginda jatuh pingsan. Tidak lama kemudian setelah wajahnya disapukan dengan air sejuk maka baginda kembali sedar. Sultan Muzaffar Syah terus menangis terisak-isak hingga jubahnya dibasahi dengan air matanya.
Baginda memuhassabah dirinya .. “Memang.. memang selama ini aku mengenali Allah melalui ilmu hakikat tetapi tidak pernah hadir walau sekelumit rasa untuk bertemu denganNya. Rupa-rupanya ilmu hakikat yang aku pegangi selama ini juga salah seperti mana ilmu ibunda permaisuri dan ilmu Syeikh Abdullah” .. bisik hatinya. Kemudian terlintas difikiran Sultan Muzaffar Syah untuk menanyakan kepada pemuda gembala itu.
“Kalau begitu wahai orang muda, jawab persoalan aku ini .. Dimana Allah .. !?!..”
Dengan tenang pemuda gembala itu menjawab..
“Allah berada dimana Dia berada sekarang.”
“Kalau begitu, dimana Allah sekarang .. !?! ..”
“Sekarang Allah berada dimana Dia berada dahulu.”
“Dimana Allah berada dahulu dan sekarang .. !?! ..”
“Dahulu dan sekarang Dia berada ditempat yang hanya Dia saja yang ketahui.”
“Dimana tempat itu .. !?! ..”
“Didalam pengetahuan ilmu Allah.”
Sultan Muzaffar Syah terdiam sebentar sambil keningnya berkerut memikirkan jawaban yang diberi pemuda gembala itu.
Kemudian baginda meneruskan pertanyaannya lagi. “Bolehkah manusia melihat Allah .. !?! ..”
“kejadian (Kunhi) zatNya tidak boleh dicapai dengan pandangan mata kepala dan pandangan hati.”
“Mohon penjelasan lagi wahai anak muda.” Pinta Sultan Muzaffar Syah.
“Begini tuanku .. adapun jawaban yang diberikan oleh ibunda permaisuri adalah benar menurut tahapan akal tuanku yang ketika itu dinilai masih kanak- kanak.
Adapun jawaban yang diberikan oleh Syeikh Abdullah itu juga benar jika dinilai dari sudut hukum akal. Adapun jawaban yang diberikan oleh Syeikh Tua itu juga benar jika dinilai dari sudut pengamalan musyahadah terhadap ilmu Hakikat. Begitu jugalah dengan jawaban yang saya berikan juga benar jika dinilai dari sudut ilmu Ma’rifat.
Tiada yang salah; cuma ilmu itu bertahap-tahap dan tuanku telah melalui tahapan- tahapan itu. Dari tahapan jahil (ilmu ibunda permaisuri) ke tahapan awam (ilmu Kalam) kemudian ke tahapan khusus (ilmu Hakikat) dan akhir sekali ke tahap khawasul khawas (ilmu Ma’rifat).”

Kemudian pemuda gembala itu terus menyambung kata-katanya .. “Jika ilmu Hakikat itu jalan fana karena menilik kepada zat Allah maka ilmu Ma’rifat pula jalan baqo’ karena melihat langsung kepada kejadian (Kunhi) zat Allah. Maka jawaban bagi persoalan tuanku itu kesimpulan saya adalah Tiada yang tahu dimana Allah melainkan Allah dan tiada sesiapa yang dapat melihat Allah melainkan diriNya sendiri.”

Sultan Muzaffar Syah mengangguk-anggukkan kepalanya tanda memahami.
“Jadi bagaimana hendak sampai ke tahap mengenal Allah dengan sempurna sehingga terbit rasa ingin untuk menemuiNya .. !?! ..”.
“Jangan mengenal Allah dengan akal sebaliknya mengenal Allah dengan Aklak.”
“Kemudian, apakah cara-caranya untuk dapat bertemu dengan Allah .. !?! ..”
Sebagaimana firman Allah

“.. Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan amalan soleh dan janganlah dia mempersekutukan Tuhannya dalam beribadat kepadanya”.. (Q.S Al Kahfi ayat 110).

”Mendengar penjelasan daripada pemuda gembala itu hati Sultan Muzaffar Syah menjadi tenang dan akhirnya baginda diterima menjadi murid si pemuda gembala itu. Karena kesungguhan yang luarbiasa dalam menuntut ilmu Ma’rifat maka baginda mahsyur terkenal sebagai seorang sultan yang arifbillah yang zuhud dan warak.
Kemudian rakyatnya dibiarkan bebas untuk berpegang pada mana-mana fahaman asalkan ajarannya masih didalam ruang lingkup yang mengikuti pegangan Ahlussunnah wal Jamaah. Dan sekarang pada usia 70 tahun barulah Sultan Muzaffar Syah sadar dan faham bahwa untuk memahami tentang Allah maka seseorang itu harus melalui tahapan- tahapan tertentu sebelum seseorang itu layak dinobatkan sebagai arifbillah.

Baginya ilmu Kalam, ilmu Hakikat atau ilmu Ma’rifat maka kesemuanya adalah sama penting untuk dipelajari bagi mewujudkan kesempurnaan untuk mencapai kedudukan Insan Kamil yang Ma’rifatullah.
Kini Sultan Muzaffar Syah sudah memahami bagaimana rasanya rindu kepada Allah dan bagaimana rasanya benar-benar tidak sabar untuk bertemu Allah. Sejak semalam mulutnya tidak henti-henti asyik mengucapkan kalimah Allah .. Allah .. Allah dan kadang-kadang terlihat deruan air mata jernih mengalir perlahan dipipinya sewaktu dipembaringan. Perlahan-lahan pemuda gembala menghampiri Sultan Muzaffar Syah yang sejak 20 tahun lalu tinggal bersama dengannya dirumah usangnya lantas meletakkan kepala muridnya itu dipangkuan dengan linangan air mata. Kini nafasnya mulai tersekat-sekat dan melihat itu, pemuda gembala merapatkan bibirnya ke telinga Sultan Muzaffar Syah lantas mentalqinkan baginda dengan dua kalimah syahadah seraya diikuti baginda dengan senyuman. Sejurus kemudian Sultan muzaffar Syah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Suasana hening … pemuda  gembala menunduk saja dan sebentar kemudian dia berkata ..
“Wahai alangkah beruntungnya .. sekarang tuanku benar-benar telah menemui Allah dan dapat mengenalNya dengan sebenar-benar kenal. Wahai Allah, masih belum layakkah untuk aku bertemu denganMu .. aku mencemburui Sultan Muzaffar Syah ini maka jemputlah aku menghadapMu Ya Allah …”.
Sebentar kemudian pemuda gembala itu pun turut rebah dan menghembuskan nafasnya yang terakhir. suasana kembali hening dan temaram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar