- Motivasi - "Cara terbaik untuk menghargai kejadian yang hadir menerpa, hanya dengan menikmatinya tanpa memiliki penilaian negatif" .. Pujangga Giras - Cak Dion's Lapendoz - Pujangga Giras

<< Hargai karya orang lain, "NO - PLAGIAT" >>

Rabu, 09 Februari 2011

PENCERMINAN LELAKU SUNAN KALIJAGA LEWAT DEWA RUCI

Di dalam menempuh jalur hidup yang penuh dengan hidayah dan karunia, seharusnya insan selalu ingat akan Sang Maha Pencipta atau Allah SWT. Karena Dia lah yang senantiasa memberi jalan dan kemudahan bagi insan yang di ciptakan-Nya. Dalam mencari keridhoan-Nya, Allah sudah menguraikan kedalam seluruh Kitab Suci yang menjadi panutan setiap insan.
Jalan untuk mendekat kepada Allah SWT disebut dengan Suluk Sementara manusia yang mencari jalan untuk mendekat kepada Allah SWT disebut dengan Salik.
Niat dalam kerinduan akan dekatnya diri dengan Allah inilah yang menjadikan seseorang mulai mencari asal mula dirinya dan bakal ia bawa kemana hidupnya ini. Dan tentang apa itu Suluk (pengenalan diri sendiri).

Hal itulah yang juga pernah terjadi pada Kanjeng Sunan Kalijaga. Beliau mencari sesuatu yang hakiki dari hidupnya. Dengan melewati beberapa cerita dari makna hidup pada akhirnya beliau menemukan apa yang dicari, yaitu buah dari hakekat hidup yang sebenarnya.
Namun beliau tidak ingin membuka pengalaman spiritual beliau tersebut secara gamblang atau blak-blakan (terus terang). Tapi beliau menyamarkan melalui perumusan dengan wejangan-wejangan yang menjadi simbol hiasan permata di tanah jawa.
Ini beliau lakukan untuk memacu agar penduduk tanah jawa bisa intropeksi diri dan bisa memahami akan dirinya sendiri dan juga bisa memahami akan sesuatu yang ada di dekatnya. Seperti kegiatan bercocok tanam yang dilakukan setiap hari. Dan dalam bercocok (mengolah tanah) tanam menggunakan peralatan seperti Pacul yang di tunjang dengan pegangan (Doran).
Salah satu contoh .. (klik di bawa ini) :
Disamping itu Kanjeng Sunan Kalijaga juga cenderung lebih memilih untuk menyamarkan pengalaman spiritualnya lewat kisah pewayangan dengan lakon Dewaruci atau kadangkala orang menyebutnya lakon wayang Bima suci.

Dalam lakon Dewaruci tersebut, mengisahkan tentang petualangan Bima “Werkudoro” dalam mencari tirta pawitra atau ‘Sangkan Paraning Dumadi’. Proses pencarian jati diri yang akhirnya menemukan ‘Sangkan Paraning Dumadi’ tersebut di kalangan umat Islam sesuai dengan Hadist Rasulullah SAW, "Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia mengenal Tuhannya".

Guru Durna menilai bahwa sudah saatnya Bima mendapatkan tataran ngelmu (menerima pendidikan ilmu) yang lebih tinggi. Menurut pengamatannya, Bima sampai saat ini telah berhasil menyelesaikan banyak tugas dalam bidang keduniawian, dia mampu karena pandai dan prigel dan dia punya budi luhur dan sikap mental yang baik.
Dalam usaha untuk menemukan Air Suci Prawitasari (inti dari Ngelmu Suci) didasar lautan. Yang bisa membawa hidupnya benar-benar tentram bahagia, dalam kisah wayang Dewa Ruci, Bima harus berjuang mati-matian seorang diri. Dan menghadapi segala rintangan-rintangan yang harus disingkirkan.
Bagian cerita Dewaruci menceritakan bahwa Bima berserah diri pada gurunya. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara.

Tikbrasara merupakan hutan yang amat seram, disamping banyak binatang buasnya. Hutan Tikbrasara juga terkenal angker. Bima tidak merasa takut ketika memasuki hutan Tikbrasara, dan Bima tidak takut akan bahaya besar yang dihadapi, walaupun maut siap menanti. Semua ini dilakukan karena Bima ingin mencari jati diri yang ada pada dirinya.
Sebenarnya hutan Tikbrasara merupakan pralambang. “Tikbra” artinya prihatin, dan sara” artinya tajam. Ini merupakan pelajaran untuk mencapai cipta yang tajam dan benar, dalam istilah spiritual umum adalah visualisasi yang tajam sehingga tujuan bisa tercapai.

Demi ingin mendapatkan jati diri yang sebenarnya atau ‘Sangkan Paraning Dumadi’. Bima harus mendaki kepuncak gunung yang tinggi, melewati jalan terjal berkelok-kelok.. Dia berani menghadapi resiko apapun.
Ini juga pralambang, maksudnya harus mampu menjaga fokus pandangan mata. Pengalaman menjelajah hutan Tikbrasara dan mendaki gunung Reksamuka adalah merupakan pelajaran sikap dalam melakukan meditasi atau samadi.
Siapkan diri baik-baik sebelumnya dengan membersihkan raga dan jiwa (istilahnya sesuci/belajar suci). Bersikap santai, berpasrah diri. mefokuskan pandangan mata kepuncak gunung, yaitu kepucuk hidung. Yang samadi, menyimak helahan nafas secara teratur sampai batinnya naik ketempat yang tinggi. Tanpa harus harus jatuh.

Dihutan, Bima berhasil menaklukkan dua raksasa yang berwajah bengis menakutkan, yaitu Rukmuka dan Rukmakala.
Ini juga pralambang. Supaya meditasinya berhasil, kedua halangan besar itu harus disingkirkan. Bagaimana bisa pasrah sumarah dalam samadi kalau pikiran ke Rukmuka artinya mau melahap makanan-makanan enak mewah yang sebenarnya ruk (merusak) kesehatan tubuh dan pikiran.

Orang-orang tua suka memberi nasihat : Boleh makan secukupnya saja dan makanan yang sehat, diutamakan sayur dan buah. Kalau terlalu banyak makan lemak dan daging, selain tidak baik untuk kesehatan, juga tidak baik untuk spiritualitas.
Rukmakala adalah rukma (emas) yang kala (membahayakan). Maksudnya , pikiran jangan maunya kekayaan materi yang melimpah melulu. Itu halangan untuk laku spiritualitas dan samadi. Itulah kenapa, Bima harus mengalahkan Rukmuka dan Rukmakala.

Bima kembali pada Pendeta Durna. Air suci yang diperintahkan Pendeta Durna untuk mencarinya tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”.
Samudra Samudra mengingatkan kepada kata samudra pangaksama artinya punyailah hati yang lapang, jadilah orang yang pemaaf.

Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”.
Ia segera berangkat ke tengah samudra. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada gurunya. Berangkatlah Bima ke tepi lautan.

Tanpa ragu-ragu iapun melangkah ke tengah laut karena meyakini apa yang dicarinya ada di tengah samudra.
Belum lama berada diair, Bima sudah mau diterkam seekor Ular Laut Raksasa. Bima bukan orang penakut, ular laut itu dihadapinya.
Ular disini melambangkan sifat-sifat jahat yang harus dilawan. Sesudah ular, yaitu sifat-sifat jahat berhasil disingkirkan, lalu sifat-sifat yang baik perlu dipertahankan dan dilakukan, antara lain :
  • Tidak iri kepada orang lain yang maju dan berhasil. Tidak susah yang berlebihan sewaktu kekayaannya berkurang. (Rila).
  • Selau bersikap baik dan benar. (Legawa).
  • Menjalani kehidupan dengan rasa syukur dan dengan sadar. (Nerima).
  • Rendah hati, sabar. Walau dijahati orang, tidak membalas, tidak dendam. (Anoraga).
  • Tahu dengan sadar yang salah dan yang benar. Ingat kepada yang sejati. (Eling).
  • Tidak pernah bosan berbuat yang benar, antara lain untuk melakukan samadi. (Santosa).
  • Tentram hatinya, melupakan kesalahan masa lalu dan kerugian-kerugian yang pernah dialami diwaktu silam. (Gembira).
  • Selalu berniat dan berbuat baik untuk kepentingan semua pihak (Rahayu).
  • Menjaga kesehatan badan, raga dirawat supaya tetap sehat, dipergunakan untuk berkiprah positif .Kalau sakit dihusada/diobati. (Wilujeng).
  • Selalu belajar dan mempelajari ilmu dan ngelmu yang benar. (Marsudi kawruh).
  • Melakukan samadi rutin, teratur dan disetiap saat terpanggil.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari supaya bersikap ngurang-ngurangi, misalnya makan pada waktu sudah lapar, makannya tidak perlu banyak, secukupnya saja. Minum pada waktu haus dan tidak usah memilih minuman yang enak-enak. Tidur pada waktu sudah mengantuk, tidak perlu dikasur yang empuk dan mewah, yang sederhana saja asalkan bersih dan sehat.Jangan suka ngomong dibelakang dan menjelek-jelekkan orang lain. Selalu bersikap positif dalam menjalani hidup ini. Bercinta dalam batas takaran dan sebaiknya dengan pasangannya yang sah.

Sesudah Bima berhasil menyingkirkan semua hambatan, mendadak tanpa persiapan apapun, dia ketemu dengan Dewa mungil yang bercahaya terang tetapi tidak menyilaukan, rupanya mirip benar dengan dirinya, namanya Dewa Suksma Ruci.
Sang Dewaruci menegur Bima,”Hai Bima, apa yang kau cari di tengah samudra ini .. ?!?.. ” Bima pun menjawab dengan sigap bahwa dirinya mencari tirta pawitra seperti diperintahkan gurunya, Begawan Durna. Dewaruci memperingatkan Bima bahwa apa yang dicarinya tidak ada di tengah samudra. Tetapi Bima tetap ngotot ingin mencari.

Singkat cerita, lantaran tekad Bima yang sangat besar itu, Dewaruci memerintahkan pada Bima untuk masuk ke dalam badan Dewaruci yang kecil. Seketika Bima pun tertawa terbahak-bahak. “Bagaimana aku yang bertubuh besar bisa masuk ke dalam badanmu yang kecil? Itu jelas tidak mungkin,” kata Bima. Tetapi Dewaruci pun menjawab,”Hai Bima, besar mana tubuhmu dengan alam semesta ini .. ?!?.. ” Bima menjawab,” Jelas lebih besar alam semesta ini.” “Lha alam semesta yang katamu besar ini saja bisa masuk ke dalam tubuhku, mengapa kamu tidak bisa masuk .. ?!?.. Kamu pasti bisa masuk,” tegas Dewaruci sembari memerintahkan Bima untuk masuk ke dalam badan Dewaruci melalui ‘telinga kiri’ sang Dewaruci.

Setelah masuk badan Dewaruci, Bima merasakan bahwa dirinya tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang tak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Bima tidak tahu lagi mana arah barat dan timur, selatan dan utara. Semuanya serba membingungkan. Tiba-tiba ia melihat cahaya. Cahaya yang dilihat Bima beraneka macam warna. Beraneka macam warna cahaya itu dikalangan orang-orang yang lelaku disebut Pancamaya.

Bima melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Warna-warna itu melambangkan aneka nafsu yang merupakan penghalang cipta, rasa dan karsa untuk bertemu dengan Allah SWT. Nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan Yang Kholiq.

Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.

Setelah itu warna-warna yang dilihat Bima itupun hilang dan berganti dengan 8 warna. Siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya.
Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Maha Tunggal.

Setelah itu, Bima melihat benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibatasi oleh jasad. Seusai semuanya, Bima tidak lagi merasakan apa-apa. Ia merasakan dirinya sudah tidak ada dan lenyap bersama dengan Keberadaan-Nya. Bima tak merasakan khawatir, tidak ingin makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat semata. Hal ini menyebabkan Bima betah berlama-lama di tempat dan kondisi tersebut .

Pencarian Bima Suci itupun akhirnya berakhir dengan kebahagiaan. Bukankah kebahagiaan dan ketentraman dalam hidup dan hidup serasa diayomi dan dilindungi itu yang kita cari .. ?!? .. Untuk itu, tidak ada salahnya jika kini Anda mulai menjadi seorang salik yang mencari suluk sejati seperti halnya laku Sunan Kalijaga yang disamarkan lewat kisah Bima Suci atau Dewaruci.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar